Sabtu, 27 Desember 2014

Patah Hati - Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri

Patah hati adalah sebuah keniscayaan. Setiap manusia di dunia ini sudah pasti pernah merasakan patah hati. Begitupun dengan gue. Gue tau betul bagaimana rasanya patah hati. Karena gue sering mengalaminya. Tapi dari sekian banyak momen patah hati yang gue alami, yang paling susah dilupakan adalah saat gue kelas 2 SMA. Saat itu, untuk pertama kalinya hati gue dihancurkan berkeping-keping oleh seorang cewek. Namanya Diani.

Diani adalah cewek yang paling bisa membuat gue tertawa dengan segala kelucuan dan kepolosannya. Entah polos atau memang lemot. Ya, lemot. Itu panggilan sayang gue ke dia. Pernah ketika kami nonton bioskop, film udah hampir abis, dia baru nanya "ini jagoannya yang mana sih?". Pernah juga ketika kami ada di mal lantai dua, saat pengen naik ke lantai tiga, dia nanya "ini kita mau naik ke atas kan?" Gue bingung jawab apa, karna setau gue yang namanya naik ya pasti ke atas, gak mungkin ke bawah.

Singkat cerita, beberapa bulan setelah kami jadian, gue tanpa sengaja melihat Diani di sebuah mal sedang bergandengan tangan dengan seorang cowok. Awalnya gue agak ragu itu Diani, tapi setelah gue mendekat, ternyata itu memang Diani.

"Eh kamu ngapain di sini?" Tanya gue ke Diani dengan nada yang agak tinggi. "Hah? Apaan?" Diani tampak shock melihat gue.
"Dia siapa? Kok kamu gak bilang kalo lagi jalan sama cowok lain?"
"Lo ngomong apa sih?"
"Cowok itu siapa?"
"Ini?" Diani menunjuk ke cowok yang ada di sampingnya. "Dia cowok gue!"

Di tengah perdebatan gue dan Diani, cowok itu nanya ke gue "eh lo siapa sih?". Sambil menahan emosi gue menjawab "gue cowoknya!" Lalu cowok itu menatap Diani sambil berkata "oh ternyata kamu punya cowok lain. Kita putus!". Cowok itu pergi meninggalkan Diani. Yang paling bikin sakit adalah, Diani ngejar cowok itu, dan pergi meninggalkan gue.

Besoknya, saat di sekolah, gue mutusin Diani. Anehnya setelah gue bilang putus, dia langsung nangis dan nanya kenapa gue bisa dengan gampangnya mutusin dia di saat dia lagi sayang-sayangnya. Tapi gue udah gak mau denger apa-apa lagi dari dia, hati gue udah terlanjur patah. Gue haru pergi dari dia. Rasa sakit gue lebih besar ketimbang rasa cinta gue ke dia.

Tiga bulan berlalu, empat bulan berlalu, sampai setengah tahun berlalu, gue masih belum bisa menghilangkan Diani dari kepala gue. Tapi Diani sebaliknya, dia udah berpacaran dengan teman sekelasnya. Setiap hari gue melihat mereka pulang bareng, berangkat bareng, kemana-mana bareng. Hati gue udah bukan patah lagi, tapi hancur berkeping-keping.

Suatu hari, entah kenapa, gue mendadak jadi kangen Diani. Kangen yang teramat sangat. Pengen telpon dia, tapi gak mungkin. Itu sama aja seperti menjilat ludah sendiri. Karna gue masih terlalu gengsi untuk nelpon dia, akhirnya gue memutuskan untuk stalking facebook Diani. Setidaknya walaupun gak bisa mendengar suaranya, gue bisa melihat fotonya. Wall facebook Diani dipenuhi dengan percakapan mesra dia dengan pacar barunya. Gak kuat bacanya. Lalu gue buka album fotonya. Ada banyak foto di sana. Tapi ada satu foto yang kemudian membuat gue seakan tertimpa palu milik Thor yang tiba-tiba jatuh dari langit.

Dalam foto itu Diani ada dua. Aneh. Setelah gue cari tahu, ternyata, Diani punya saudara kembar. Namanya Diana. Mereka berdua kembar identik. Yang satu bernama Diani Putri Anindita dan yang satunya lagi bernama Diana Putri Anindita. Jadi, cewek yang gue lihat di mal adalah Diana, bukan Diani. Jadi, selama ini gue udah mutusin Diani tanpa sebab. Saat tau hal itu, rasanya gue ingin menangis di tengah hujan, lalu teriak "TIDAAAAAAK!".
Sebenarnya setelah tau hal itu, gue pengen minta maaf ke Diani dan Diana. Terutama Diana. Karena gue, dia diputusin cowoknya. Tapi sepertinya itu cuma akan menambah masalah. Nasi sudah menjadi bubur. Diani udah bahagia dengan cowok lain. Gue patah hati, karena kebodohan gue sendiri.

Sejak saat itu gue jadi mengerti apa itu patah hati. Patah hati merupakan bagian lain dari jatuh cinta. Keduanya adalah satu paket. Jangan jatuh cinta kalau gak mau patah hati. Berbicara tentang patah hati, sejujurnya gue udah lama gak merasakan itu. Sampai akhirnya gue membaca buku terbaru Bernard Batubara yang berjudul Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Membaca buku ini membuat gue seakan bernostalgia dengan rasa sakit yang udah lama gak gue rasakan. Terutama rasa sakit akibat patah hati.

Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Yang gue tangkap dari kalimat ini adalah sebuah analogi. Jika kamu siap jatuh cinta, maka kamu pun harus siap mati secara perlahan. Mati yang gue maksud tentu bukan meninggal. Begini, pernah gak kalian patah hati, lalu merasa hidup ini jadi gak berarti lagi? Itulah mati yang gue maksud. Buku ini memang ditulis dengan sangat rapih. Kalimat-kalimat yang dirangkai menyimpan sebuah pesan tersembunyi. Itulah yang membuat cerita-cerita di buku ini menjadi lebih dalam.

Kalau kalian pernah melihat sebuah lukisan indah yang digambar dengan tema abstrak, begitulah buku ini. Beberapa cerita memang dibuat tidak masuk akal, seperti cerita tentang Seorang Perempuan di Loftus Road, yang berubah jadi sebatang pohon karena terlalu lama menunggu seseorang yang dicintainya. Atau cerita tentang Nyanyian Kuntilanak, yang berusaha terus bernyanyi untuk orang yang dicintainya meskipun dia tau, orang tersebut bahkan tidak bisa melihatnya. Menurut gue semua itu adalah sebuah analogi.

Tahukah kamu, bagaimana menderitanya menunggu seseorang yang bahkan menganggapmu gak ada? Begitulah cerita tentang Perempuan di Loftus Road.
Tahukah kamu, perihal rasa sakit akibat jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak pernah melihatmu? Begitulah cerita tentang Nyanyian Kuntilanak. Itu menjadi kekuatan buku ini, semua cerita tidak ditulis secara klise. Seperti yang gue bilang sebelumnya, ada pesan yang tersembunyi di balik setiap cerita yang ditulis Bara.

Menulis tentang cinta bukanlah hal yang mudah. Butuh kecerdasan dalam menata ceritanya agar tidak terkesan klise. Dalam buku ini, Bara cukup berhasil melakukannya. Gue gak menemukan satupun cerita yang klise. Bahkan gue samasekali gak bisa menebak ending dari setiap cerita. Setiap kali gue mencoba menebak ending dari cerita yang ada di buku ini, gue selalu gagal. Selalu ada kejutan yang disajikan di setiap endingnya.

Yang jelas, cinta yang diungkap Bara dalam buku ini adalah sisi lain dari cinta yang selama ini identik dengan perasaan berbunga-bunga. Seperti yang kita ketahui, terkadang cinta memang terlihat warna-warni, namun di balik semua warnanya, selalu ada hitam yang begitu pekat.

Nah, buat kalian yang belum punya buku ini, atau udah punya tapi mau punya lagi, gue akan membagikan satu buku Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Caranya akan gue buat gampang, cukup tuliskan komentar kalian perihal buku terbaru Bara. Tulis di kolom komentar dan sertakan email kalian.

Contoh:

"Selalu ada pesan yang misterius di dalam setiap tulisan Bara. Itu yang membuat bukunya menarik untuk dibaca. Jadi makin penasaran sama buku ini" (lalu sertakan alamat emailmu)

Kuis akan ditutup jam sembilan malam. Dan pemenangnya akan gue konfirmasi langsung melalui email. Terimakasih.


Selasa, 23 Desember 2014

Diamnya Cewek Bukan Berarti Marah

Sore itu, gue dan cewek gue berencana menonton film Doraemon Stand By Me. Sebenernya sih gue males, mending tidur di rumah. Tapi karna cewek gue bawel banget ngajak nonton film itu, yaudah gue terpaksa menurutinya. Sesampainya di lokasi, bioskop penuh. Gue samasekali gak mengira bioskop saat itu akan dipenuhi bapak-bapak kumisan dan om-om jenggotan yang rela antri panjang hanya untuk nonton Doraemon.

Ngeliat bioskop yang seperti posyandu di kala ada event imunisasi, napsu nonton gue hilang. Gak kebayang, dengan antrian sepanjang itu, perlu berapa puluh tahun untuk bisa dapet tiket Doraemon. Tapi cewek gue gak mau mengerti. Dia terus merengek, meminta gue untuk ikutan antri. "Udah ayok buruan antri sebelum kehabisan" kata cewek gue sambil narik lengan gue.

Gue pasrah. Sambil berdoa dalam hati semoga tiketnya cepet habis biar gue gak terlalu lama antri. Beberapa menit kemudian. Orang-orang di depan gue mulai keluar dari barisan. Muka mereka menggambarkan kekecewaan. Ternyata doa gue terkabul. Baru 5 menit gue antri, tiketnya udah habis. Alhamdulillah..

Cewek gue cemberut. Ada kekecewaan yang begitu dalam yang gue lihat di matanya. Di saat-saat seperti itu, gue harus mencoba menghibur dia.

"Udah gapapa, besok kita ke sini lagi"
"tapi aku maunya sekarang. Besok belum tentu kamu ada waktu buat aku. Kamu kan gitu, sok sibuk"
"ya terus mau gimana lagi? Kan tiketnya habis"
"yaudah deh, kita pulang aja!" Setelah itu, dia yang biasanya bawel, mendadak jadi pendiem.

Karena dia minta pulang, yaudah, gue ikutin kemauannya. Daripada marahnya makin menjadi-jadi. Beberapa saat kemudian, gue dan cewek gue sampai di parkiran. Dia masih diam seribu bahasa. Gue ajak ngobrol, jawabnya cuma "ya" "hmm" dan "gak". Mungkin dia ngambek. Tapi gue bisa apa. Gue aja gak tau salah gue di mana. Kalo gue tau, pasti gue minta maaf.

Tempat parkiran sama seperti bioskop, penuh. Gue agak susah ngeluarin motor karena dipepet dua motor di kiri kanan depan belakang.  Cewek gue juga gak bantuin samasekali. Dia cuma diem sambil mencet-mencetin henponnya. Mungkin dia lagi update status "SEMUA COWOK SAMA AJA! KZL!"

Langit mulai mendung, dan petir beberapa kali bersautan. Setelah berhasil ngeluarin motor, gue segera tancap gas karena panik takut kehujanan di jalan. Selama di perjalanan, cewek gue masih diem aja. Sesekali gue coba ngajak dia ngobrol, tapi dia gak jawab samasekali. Emang deh ya, cewek kalo ngambek suka nyusahin.

Tapi gue mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Gak biasanya cewek gue semarah itu cuma karna hal sepele. Lalu saat gue nengok ke belakang, cewek gue gak ada. Dia ketinggalan di parkiran. Sial. Gue bener-bener gak tau kalo dia belum naik. Akhirnya gue cepet-cepet puter balik dan segera menjemput cewek gue yang masih ada di parkiran. Gue kira dia akan marah karna gue tinggalin, tapi ternyata dia malah ketawa-ketawa. :(

Pesan moral: cewek itu kalo diem aja bukan berarti marah. Coba diajak ngobrol terus. Siapa tau dia lagi kesurupan, atau sama seperti apa yang gue alamin, ketinggalan di parkiran.


Jumat, 19 Desember 2014

(giveaway) 5 Buku Bukan Tentang Cinta

Akhirnya setelah menunggu sekian lama, buku pertama gue akan segera terbit di bulan Januari tahun depan. Buku ini berjudul Bukan Tentang Cinta. Proses penulisannya lumayan lama. Sekitar 6 bulan. Dan numggu proses terbitnya sekitar 3-4 bulan. Jadi saat buku ini terbit, rasanya seperti baru melahirkan anak pertama setelah 9 bulan mengandung. Mudah-mudahan nantinya setelah terbit buku ini bisa berguna bagi nusa dan bangsa.

Selama proses nunggu terbitnya buku ini gue sering ditanya di twitter "bang, kapan bukunya terbit?" "Bang, judul bukunya apa?" "Bang, nasi goreng satu gak pake nasi". Jujur setiap ditanya perihal buku, perasaan gue seneng, sekaligus sedih. Seneng karena ternyata banyak yang antusias dengan buku gue. Sedih karena gue belum tau terbitnya kapan.

Yang jelas gue sangat berterimakasih untuk mereka yang sangat antusias dengan buku gue. Nah, sebagai bentuk rasa terima kasih gue, sebelum buku ini terbit, gue akan mengadakan giveaway yang berhadiah 5 buku Bukan Tentang Cinta untuk 5 pemenang. Syaratnya, cukup pasang avatar twitter kalian dengan kover buku gue. Biar lebih gampang, kovernya bisa kalian ambil dari avatar twitter gue. Setelah itu mention ke twitter gue satu tweet dengan tema yang gue tentukan. Temanya gampang; deskripsikan apa arti cinta menurut kalian. Dan jangan lupa sertakan hashtag #BukanTentangCinta

Karena ini buku komedi, maka tema tweet-nya pun gak boleh terlalu serius. Lucu-lucuan aja.

Contoh:

Cinta itu ketika aku dan kamu makan satu piring berdua, saat saling suap-suapan, eh sendoknya ketelen. #BukanTentangCinta

Cinta itu ketika kita gak ilfil dengan pasangan kita, walaupun kita tau dia suka ngupil pake jempol kaki. #BukanTentangCinta

Gampang kan?

Giveaway dimulai hari ini sampai tanggal 21 Desember 2014 . Setiap harinya akan gue umumkan pemenangnya di twitter. Buku dikirimkan langsung kepada pemenang setelah terbit bulan Januari tahun depan. Oke segitu aja. Kalo ada yang mau ditanyain, silakan tanya di blog atau mention ke twitter gue. Sekian dan terima kasih.

Senin, 01 Desember 2014

Seni Berkenalan Dengan Cewek

"Ganteng aja gak cukup. Lo butuh kepercayaan diri lebih buat ngajak kenalan duluan". Begitulah jawaban dari temen gue ketika gue tanya gimana dia bisa gampang banget dapet pacar. Namanya Satrio. Dulu dia cupu banget. Jangankan pacaran, ngeliat cewek cakep aja kadang mimisan. Penampilannya juga biasa aja. Gak ganteng cenderung dekil. Tapi entah kenapa, Satrio yang dulu beda dengan Satrio yang sekarang. Out look-nya berubah drastis. Penampilannya jadi lebih terawat.

"Lo gak berani kan ngajak cewek kenalan? Ketebak. Coba deh, lo belajar ilmu pickup artist" kata Satrio. "Make up artist?" Jawab gue dengan heran. "Maksud lo gue harus belajar dandan gitu?". "Pickup artist! Bukan makeup rtist!". Lalu Satrio menjelaskan ke gue apa itu pickup artist. Menurut penjelasannya, pickup artist secara garis besar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara membuat wanita jatuh cinta.

Gue baru tau ada ilmu begituan. Selama ini gue kenalan sama cewek gak pernah pake ilmu apa-apa. Spontan aja. Tapi ternyata ilmu semacam itu memang benar-benar ada. Satrio gak menjelaskan secara keseluruhan. Karena kata dia, butuh waktu lama untuk menjelaskan semua tentang pickup artist. Dia nyaranin gue googling dan nyari info sendiri. Awalnya gue gak tertarik. Karna gue pikir itu kayak ilmu pelet atau sejenisnya. Tapi gue lumayan penasaran, gimana ceritanya Satrio yang bentuknya kayak pohon sukun itu bisa gampang banget dapet cewek.

Rasa penasaran gue kemudian menuntun gue untuk mencari info tentang pickuprtist. Setelah googling, gue menemukan beberapa referensi dari berbagai macam web. Nggak nyangka, ternyata banyak juga web yang ngebahas secara khusus mengenai pickup artist. Bahkan di Indonesia komunitas-komunitas pickup artist mulai eksis. Ada juga yang menjadikan pickup artis sebagai peluang bisnis. Bikin e-book khusus pelatihan menakhlukan hati wanita dengan menggunakan teknik pickup artist, lalu dijual. Dan anehnya, banyak yang beli.

Dari info yang gue dapet, pickup artist atau yang biasa disingkat PUP ini populer setelah buku The Game menjadi hit di pasaran. The Game adalah buku yang berkisah tentang seorang cowok nerd, yang kemudian bertransformasi menjadi seorang player sejati. Persis seperti Satrio.

Ilmu PUP dipelopori oleh Ross Jeffries, seorang player/perayu wanita yang kemudian menjadikan keahliannya dalam merayu wanita menjadi sebuah ilmu yang bisa dipelajari. PUP sering dipakai untuk berbagai kepentingan. Ada yang memakainya untuk sekedar mencari pacar, teman, partner one night stand (cinta satu malam), atau mungkin dipakai sales panci untuk menarik minat pembeli. Orang-orang barat biasanya memakai teknik PUP untuk mendapatkan partner one night stand. Karena mungkin budaya di sana cenderung biasa aja dengan sex bebas. Tapi kayaknya di Indonesia banyak juga yang memakai teknik PUP untuk one night stand.

Dalam ilmu PUP banyak teknik-teknik yang bisa dipakai untuk berkenalan dengan cewek. Speed Seduction, Kino, Cold Approach, Direct Opener, Indirect Opener, Direct Approach, Indirect Approach, Day Game, Night Game, dll. Gue gak bisa jelasin satu-satu, karna gue juga gak begitu paham dan pasti bakal panjang banget. Kalo mau tau lebih banyak, silakan googling sendiri.

Setelah tau apa itu Pick Up Artist, gue gak begitu tertarik belajar ilmu begituan. Gue lebih suka cara gue sendiri, yang tanpa konsep, dan berjalan natural. Sampai suatu ketika, tanpa sengaja gue mencoba teknik PUP. Ceritanya berawal ketika gue lagi nyari buku di gramedia. Rak demi rak gue telusuri. Akhirnya ketika gue ada di rak khusus buku Sci-Fi, gue melihat sesosok cewek lucu nan menggemaskan. Putih, mulus, dengan rambut berponi sepundak bagaikan Dora The Explorer.

Cewek itu sendiran. Dia tampak kebingungan melihat-lihat rak buku. Lalu entah kenapa, di kepala gue tiba-tiba terpikirkan hal yang diluar dugaan. Yes, gue penasaran pengen coba PUP. Tanpa pikir panjang, gue nekat deketin cewek itu. Gue lupa nama tekniknya apa, tapi dari apa yang pernah gue baca, langkah pertama yang harus gue lakukan adalah eye contact. Oke, gue liatin cewek itu sampai gue dan dia melakukan eye contact. Berhasil. Cewek itu ngeliat ke arah gue. Walaupun dengan tatapan yang.. Aneh.

Teknik ke dua, gue harus senyum ke dia. Oke, gue coba senyum ke dia. Gak ada respon. Dia gak senyum balik. Akhirnya gue coba lanjut ke step terakhir; deketin, dan kasih pertanyaan "menurut lo cewek atau cowok yang lebih sering bohong?". Dalam teknik yang pernah gue baca, pertanyaan itu bisa jadi trigger yang kuat buat ngebuka obrolan.

Pelan-pelan gue mulai deketin cewek itu, lalu bertanyalah gue.. "menurut lo cewek atau cowok yang lebih sering bohong?". Setelah gue tanya, dia menatap gue dengan penuh keheranan. Sempat terjadi keheningan. Gue kira setelah gue tanyain begitu, dia bakal langsung jawab. Ternyata dia diem aja. Gue bingung mesti ngapain lagi. Gue dan cewek itu diem-dieman beberapa saat. Awkward parah. Gue udah gak mungkin mundur. Udah terlanjur. Gue coba kasih pertanyaan lain "nyari buku apa?" Tanya gue. Cewek itu ngeliatin gue. Masih dengan tatapan penuh keheranan. Lalu dia menjawab. "Mas, karyawan di sini ya? Buku romance sebelah mana?".

WTF!

Nggak lama setelah cewek itu mengira gue karyawan gramedia, dateng seorang ibu-ibu berpenampilan ala sosialita dengan anting-anting segede kepala gesper biduan dangdut. "Sini!" Kata ibu-ibu itu sambil menarik tangan cewek yang gue ajak kenalan tadi. Cewek itu dibawa menjauh dari gue. Tapi gue sempet denger ibu itu bilang ke si cewek.. "kamu diapain? mamah curiga dia tukang hipnotis!"

TAI KUDA!!!

Ternyata ibu-ibu itu mamanya. Dan gue dikira copet yang memakai ilmu hipnotis untuk menipu targetnya. Asli gue cuma bisa bengong-bengong- bego. Yang lebih parah lagi, gara-gara omongan ibu tadi, orang-orang di sekitar situ menatap ke arah gue seakan-akan gue beneran tukang hipnotis. Untungnya gak ada yang sampe manggil satpam buat nangkep gue.

Sejak kejadian itu, gue gak pernah lagi nyoba teknik PUP. Seperti apa yang gue bilang sebelumnya, gue lebih nyaman dengan cara gue sendiri. Kenalan tanpa konsep dan teknik tertentu. Tapi gue gak bilang PUP adalah cara yang salah. Semua balik ke diri masing-masing mau pilih cara yang seperti apa. Yang jelas, deketin cewek itu susah kalo terpaku dengan teknik tertentu. Karena gak semua cewek punya sifat dan kepribadian yang sama. Ada yang ramah, galak, moody, introvert macem-macem. Itulah kenapa gue lebih suka cara yang apa adanya. Perlakukan mereka dengan baik. Tapi juga jangan sampai terkesan needy. Biasa aja. Gue percaya, kalo kita bersikap baik, cewek juga akan baik. Gak mungkin ketika diajak kenalan tiba-tiba dia teriak-teriak minta tolong. Kecuali dia sama mamahnya. Kemungkinan terburuk, lo bakal dikira tukang hipnotis.

Jumat, 28 November 2014

Mantan

Nggak kerasa udah 3 bulan blog ini gue cuekin. Bahkan gue sempet lupa kalo punya blog. Maklum, sibuk banget. Jangankan ngeblog, ngetwit aja kadang cuma seminggu sekali. Bener apa kata orang bijak "musuh terbesar kreatifitas adalah rutinitas". Itu gue rasain banget ketika lagi punya banyak ide, tapi gak punya banyak waktu. Buat gue menulis itu gak segampang ada ide, tinggal tulis. Menulis juga butuh waktu dan mood yang pas. Susah nulis dalam keadaan mood lagi jelek. Tapi sekarang gue mau aktif ngeblog lagi. Mudah-mudahan akan terus berlanjut sampai ajal memisahkan kita. Yaelah.

Kali ini gue mau menulis tentang sesuatu yang selalu dianggap tabu oleh masyarakat. Mantan.

Pembahasan tentang mantan emang udah biasa banget. Bahkan hampir setiap gue buka timeline twitter, selalu ada yang ngetwit tentang mantan. Gue juga sebenernya males ngebahas mantan, tapi gak tau kenapa, di kuping gue seakan ada bisikan ghaib yang memaksa gue untuk menulis tentang mantan. Kebetulan kemaren gue baru aja didatengin sosok mantan yang dulu pernah gue pacarin 4 tahun.

Gak gampang ngelupain dia. Butuh waktu sekitar 1 tahunan untuk bener-bener lupa. Tapi setelah masa-masa sulit itu berhasil gue lewati, dengan gampangnya dia dateng lagi. Kayak yang udah-udah, mantan selalu dateng lewat pesan singkat dengan kalimat "kamu apa kabar?". Mantan gak pernah tau, kalimat "kamu apa kabar?" itu emang sederhana, tapi dampaknya gak sederhana.

Singkat cerita, setelah saling nanya kabar, gue dan dia ketemuan. Sekalian reuni dan temu kangen. Jujur sebenernya perasaan gue ke dia udah bener-bener gak ada. Tapi setelah ketemu dia lagi, semua berubah. Aneh. Gue jadi gerogi banget. Saking geroginya, di tengah pembicaraan, gue sempet salah ngomong. "Udah lama ya kita gak ketemu. Mama kamu masih yang dulu?"

Syit men! Malu gue. Yakali mamanya udah ganti.

Gue berusaha untuk tetap terlihat cool. Nyari topik bahasan yang sekiranya bisa mencairkan suasana canggung di antara kami. "Kamu apa kabar? Tanya gue dengan suara yang agak bergetar karna gerogi. "Tadi kan kamu udah nanya itu".

Bedebah! Salah ngomong lagi.

Tapi kemudian suasana canggung itu lama-lama mulai mencair. Gue dan dia jadi nyambung lagi. Ngobrol ngebahas cerita-cerita lama. Ngetawain hal-hal lucu saat pacaran dulu. Sampai akhirnya dia pun cerita tentang kehidupannya yang sekarang. Setelah putus dari gue, ternyata dia juga butuh waktu lama buat ngelupain gue. Sekarang, dia udah bener-bener bisa ngelupain gue. Dan sekarang.. dia udah punya cowok.

KAMPRET

Ternyata dia ketemuan sama gue cuma karna iseng pengen tau gimana kabar gue. Dia gak tau, hal yang dia anggap cuma iseng itu lumayan bikin gue sesak napas. Kayak lagi berlari, kemudiam terjatuh. Pas udah berdiri dan berlari lagi, tiba-tiba ditekling Roberto Carlos. Sakit. Tapi yaudah lah. Pass is pass. Lagian kalo dipikir-pikir, yang salah ya gue sendiri. Harusnya gue gak perlu berharap banyak ketika dia nanya kabar. Harusnya gue tau, ketika mantan nanya kabar gak selalu berarti pengen balikan. Mungkin cuma silaturahmi dalam rangka menjalankan perintah agama.


Sabtu, 30 Agustus 2014

Susahnya Punya Adek Cewek

Dulu sewaktu masih kecil, gue pernah jadi anak pertama dan satu-satunya. Masa kecil gue begitu bahagia. Setiap hari cuma main, main, dan main. Bisa dibilang waktu itu gue lebih suka hidup di luar rumah ketimbang di dalam rumah. Di rumah, gue memang punya banyak mainan. Orang tua gue juga selalu ada waktu buat gue. Tapi semua itu nggak seperti ketika gue main di luar rumah. Main sama orangtua gak seseru seperti ketika gue main dengan anak seumuran gue.

Gue pengen punya temen main di rumah. Cara satu-satunya adalah, gue harus punya adek. Bagaimanapun caranya, gue harus bisa memaksa nyokap buat bikinin gue adek.

"Mah, bikinin adek dong" kata gue ke nyokap yang lagi sibuk bikin brownies di dapur. Denger ucapan gue itu, nyokap langsung menatap gue dengan heran. Tanpa berkata apa-apa, dia lanjut ngaduk adonan. Gue mulai ngeluarin jurus yang paling sering dipakai anak kecil sebagai senjata mengintimidasi orangtuanya. Merengek. "Maaaaaah... Adeeeeek.." Sambil narik-narik bagian bawah baju nyokap, gue terus merengek. Sampai akhirnya nyokap gue nyerah. "Iya, nanti mamah bikinin ya.."

Gue berhasil.

Karena khawatir ucapan nyokap cuma sekedar wacana, gue terus mendesak nyokap "kapan bikinnya? besok ya. pokoknya besok aku udah harus punya adek" nyokap gue diem. Sambil terus merengek, gue nanya ke nyokap "Emang bikin adek gimana sih? ajarin deh. ntar aku bikin sendiri" kemudian gue liat muka nyokap gue mulai pucet.

Capek denger rengekan gue, nyokap akhirnya menjawab sebisanya. "Bikinnya kayak gini nih!" jawab nyokap gue sambil memasukan adonan kue brownies ke dalam oven. "Oh gitu ya.." Dan gue pun percaya.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, adek gue terlahir ke dunia yang fana ini. Namanya Jenisa. Biasa dipanggil Jeni. Setelah Jeni lahir, anggapan gue tentang punya adek itu seru ternyata salah. Punya adek itu susah. Kasih sayang orangtua gue mulai terbagi. Waktu bermain gue juga semakin berkurang. Saat nyokap sibuk masak, gue jadi gak bisa main karena harus jagain Jeni. Gendong dia sampe dia tidur. Bikinin dia susu ketika dia rewel. Nyuci piring ketika nyokap gue capek ngurusin Jeni. Dari situ, secara gak langsung gue mulai belajar tentang tanggung jawab menjadi seorang kakak

Seiring berjalannya waktu, Jeni mulai dewasa. Tugas gue buat ngurusin dia juga udah berkurang. Dan sekarang dia sedang memasuki fase hidup baru. Dari sel telur-bayi-balita-anak kecil-ABG-alay. Bahkan sekarang ini jiwa alay Jeni sedang meletup-letup dalam dirinya. Saking alaynya, setiap BBM-an sama dia, gue berasa baca tulisan-tulisan purba yang biasa diabadikan di sebuah prasasti. Belum lagi ketawanya yang menyimpang dari ajaran agama ~w̶̲̥̅̊к̲̣̣̥"=))w̶̲̥̅̊к̲̣̣̥"=Dw̶̲̥̅̊к̲̣̣̥"=))w̶̲̥̅̊к̲̣̣̥~

Makin kesini gue makin sadar kalau ternyata walaupun alay, Jeni terlahir dengan wujud yang cantik. Dan itulah masalah utamanya. Punya adek itu susah. Apalagi adek cewek. Cantik pula. Di luar sana pasti banyak spesies cowok yang kalo ngeliat cewek bening, otaknya langsung kotor. Gue harus menjaga Jeni dari mereka.

Setiap Jeni keluar rumah, ada perasaan gak tenang yang gue rasakan. Karena gue juga dulu pernah jadi anak seumuran Jeni. Yang pengen mencoba banyak hal, tanpa mikir apa akibatnya. Jagain Jeni kecil, jauh lebih gampang ketimbang jagain Jeni yang sekarang udah dewasa. Apalagi anak seumuran Jeni masih punya pikiran yang labil. Masih gampang terpengaruh orang lain.

Sebenarnya gue buka tipe orang yang insecure. Bahkan ketika pacaran gue sering diputusin dengan alasan "kamu terlalu cuek sama aku". Gue juga pernah berusaha mengubah sifat cuek gue. Menjadi seorang cowok yang peerhatian sama ceweknya. Tapi kemudian gue diputusin dengan alasan "kamu terlalu posesif sama aku".

Demi keselamatan Jeni, gue akan berusaha semaksimal mungkin buat ngelindungin dia. Gue harus tau siapa aja orang-orang disekitar Jeni. Terutama temen-temennya.

Akhirnya suatu ketika, saat Jeni ketiduran di ruang tamu, diem-diem gue meriksa handphone-nya.  Gue baca semua SMS, BBM, WhatsApp, dan Line Jeni. Seperti seorang spionase Rusia yang mencari data-data konspirasi rahasia pemerintah Amerika Serikat, gue membaca dengan teliti semua pesan yang ada di handphone Jeni. Hasilnya, gue speechless.

Dari hasil penyadapan gue terhadap handphone Jeni, gue menarik kesimpulan kalau saat ini Jeni ada dalam bahaya.

Di handphone-nya banyak gue temukan pesan-pesan aneh dari banyak cowok. Ada satu yang paling aneh. SMS dari nomer yang gak diketahui. Isinya cuma "hay" "pgie" "siank" "sore" "gy apz nih?" "Mlem" "met bobok". Isi SMS-nya semacam pesan dari alien kepada manusia bumi. Pesan berupa kode SOS dalam rangka memberi tanda bahwa di planet lain ada kehidupan. Tapi gue bersyukur Jeni gak bales semua SMS itu.

Jeni gak pernah bales semua pesan dan chat yang gak jelas. Itu cukup bikin gue lega. Saat gue lagi baca-baca BBM Jeni, ada chat masuk. Dari seseorang bernama Billy. Isinya.. "adek, kamu lagi apa? gak kangen sama kakak? xixixixi"

What the fuck! Sejak kapan Jeni punya kakak lagi selain gue?

Dengan rasa penasaran yang bercampur dengan rasa kesel, gue langsung bales.. "Gue kakaknya Jeni. Lo kakaknya juga? Kapan lahirnya, kok gue gak tau? Kita lahir barengan? Tapi seinget gue, dulu gue ada di perut nyokap. Lo di mana? Di lambung?"

Gak dibales.

Beberapa menit kemudian. Ada lagi BBM masuk. Dari seseorang bernama Gilang. "Hy Jeni. Lg apa?" Tanpa pikir panjang, gue langsung bales "lg cebok nih. bentar ya.." Gue pikir setelah gue BBM kayak gitu, dia bakal ilfil sama Jeni. Dan gak ngehubungin Jeni lagi. Ternyata dia langsung bales lagi. "Walaupun qm gk cinta ma aq, tp aq akan ttp selalu mencintaimu".

Makin gak paham dengan sepak terjang anak muda jaman sekarang.

Puncak kekhawatiran gue terjadi beberapa hari selanjutnya. Minggu sore, rumah gue kedatangan seorang tamu. Kebetulan gue sendiri yang membuka pintu buat tamu itu. Saat gue buka pintu, seorang lelaki berkumis tipis, rambut belah pinggir, dan berkacamata tebal, tersenyum di hadapan gue. "Hehehe. Jeni-nya ada?"

Pertama kali ngeliat orang itu, gue langsung mikir, mungkin dia guru atau kepala sekolahnya Jeni. Tapi bentuknya sama sekali gak mencerminkan sosok seorang guru atau kepala sekolah. "Ada perlu apa ya?". Sambil senyum-senyum mengerikan, lelaki itu menjawab "Saya temen sekolahnya Jeni. Saya ke sini karena ada janji sama Jeni buat belajar bareng"

Gue sempet diem beberapa saat ketika tau kalau ternyata lelaki bertampang bapak-bapak itu temen sekolah Jeni. Kalau benar dia temen sekolah Jeni, gue rasa dia udah gak naik kelas 20 tahun. Gue dilema. Bingung antara mau mengusir dia baik-baik, atau mengutuk dia jadi tembikar. Belum sempat gue usir, Jeni udah keburu nongol duluan. Dia langsung nyuruh ABG kumisan itu masuk. Gue gak bisa berbuat apa-apa. Mau gue seret keluar, nggak enak sama tetangga.

Jeni dan ABG kumisan itu belajar di ruang tamu. Gue masih penasaran, siapa sebenernya temennya itu. Karena ini pertama kalinya ada cowok dateng ke rumah buat ketemu Jeni. Mudah-mudahan ABG kumisan itu bukan cowok Jeni. Gue masih belum rela adek gue pacaran. Apalagi sama yang bentuknya agak abstrak kayak gitu.

Gue harus merancang strategi untuk mendengar semua obrolan mereka. Lalu muncullah ide aneh di kepala gue. Ngepel. Iya, kalau gue ngepel di ruang tamu, gue akan bisa mendengar semua obrolan mereka. Walaupun sebelumnya gue gak pernah ngepel, tapi semua akan gue lakukan demi keselamatan Jeni.

Setelah meracik air pel ke dalam ember, gue bergegas menuju ruang tamu. Alat pel gue celupkan ke dalam ember, dengan gerakan asal-asalan, gue mulai ngepel seleruh lantai yang ada di ruang tamu. Jeni menatap gue dengan pandangan yang seakan berkata "astaga, ngapain lagi sih nih orang.." tapi gue cuek. Gue terus ngepel sambil nguping obrolan mereka.

Yang mereka obrolin ternyata memang cuma masalah pelajaran aja. Tapi gue gak mau ketipu. Bisa jadi, setelah gue pergi, obrolan mereka jadi berubah arah. Gue harus memantau mereka. Kemudian keanehan mulai terjadi..

Lantai ruang tamu yang gue pel terlihat aneh. Banyak busa di mana-mana. Ruang tamu gue dihiasi dengan busa dan genangan air. Gue mulai panik sekaligus heran. Kayaknya ada yang salah. Gue sering ngeliat nyokap ngepel di rumah, tapi lantainya gak becek dan berbusa.

"Astaghfirulloh, Dimaaaas! Lantainya kamu apain?" Suara nyokap gue menggelegar ketika melihat lantai di ruang tamu becek dan berbusa.

Setelah diusut tuntas, ternyata penyebab terjadinya semua itu adalah karena kesalahan gue ketika memilih sabun. Sabun yang gue pake bukan sabun buat ngepel, tapi sabun buat nyuci piring. Selain itu, takaran sabun yang gue campur ke dalam air terlalu banyak. Itu yang membuat lantainya berbusa. Kesalahan kedua, saat ngepel, harusnya kain pelnya gue peras dulu. Tapi itu gak gue lakukan. Itu lah kenapa lantainya jadi becek.

Karena lantainya becek, akhirnya ABG kumisan itu pulang. Dan Jeni ngambek sama gue.

Setelah kejadian itu, gak ada lagi cowok yang dateng ke rumah gue buat ketemu Jeni. Tapi lama-lama gue jadi mikir, sepertinya kekhawatiran gue terlalu berlebihan. Lagi pula, gue gak mungkin bisa setiap saat dan setiap waktu ada di dekat dia. Cara yang seharusnya gue pakai adalah membentuk pola pikirnya. Supaya dia bisa melindungi dirinya sendiri dengan cara bisa membedakan mana yang baik dan mana yang gak baik.

Sebagai kakak, gue cuma berharap Jeni gak terjebak ke pergaulan yang salah. Karena gue pernah jadi anak seumuran dia. Gue tau betul segala bentuk pergaulan anak jaman sekarang. Maka dari itu, gue wajib melindungi Jeni dari pergaulan yang salah, dari orang yang salah, dan dari jalan hidup yang salah.

Senin, 03 Maret 2014

Justin Kesurupan?

Seorang ibu akan melakukan apapun demi kebaikan anaknya. Semua yang dikatakan ibu kepada anaknya adalah tentang kebaikan, kebaikan, dan kebaikan. Nggak ada dan nggak mungkin ada ibu yang berkata pada anaknya seperti ini..

"Anakku sayang.."
"Iya mah.."
"Kamu kalo udah gede mau jadi apa?"
"Jadi polisi"
"BHAHAHAHAK! Polisi apaan? Polisi tidur?!"

Seperti semua ibu pada umumnya, nyokap gue pun selalu nasehatin gue ketika gue melakukan sesuatu yang menurut dia nggak boleh dilakukan. Tapi yang jadi masalah adalah, nyokap gue termasuk orang yang percaya dengan hal-hal aneh semacam mitos, santet, jimat, dll.

Terlahir sebagai orang Jawa tulen membuat nyokap gue sangat percaya dengan apapun yang berkaitan dengan hal mistis. Tapi bukan berarti nyokap gue musyrik. Dia tetap beriman. Dan sholat-nya pun selalu 5 waktu. Kepercayaannya pada hal-hal mistis cuma bagian dari budaya turun temurun yang dia dapat semasa kecil.

Gue masih inget banget ketika gue masih kecil, nyokap sempet menularkan virus mistisnya ke gue. "Magrib magrib jangan keluar rumah, nanti diculik kuntilanak". Kata nyokap gue ketika menasehati gue yang merengek minta keluar rumah buat main sama temen. Mitos itu pasti diucapkan nyokap ketika gue keluar rumah sewaktu magrib. Bahkan sampai sekarang.

Waktu masih kecil, gue percaya sama mitos itu. Kalo sekarang, setiap denger mitos itu, yang kebayang dipikiran gue adalah mungkin kuntilanak yang dimaksud nyokap gue sejenis kuntilanak yang pas mau nyulik, mukanya ditutup pake kupluk yang bagian mata sama mulutnya dibolongin.

Kemistisan nyokap terus menghantui hidup gue. Bahkan kemaren gue baru denger mitos terbaru dari dia. "Jangan buang air panas sembarangan, nanti kena anak jin". Sebagai anak yang baik, gue cuma bisa bilang "oke". Padahal dalam hati bertanya-tanya.. "jin apaan bisa kena air panas? Mereka kan terbuat dari apai. Lagian, emang jin bisa bikin anak? Itu istrinya pas ngelahirin dibawa kemana? Bidan? Emang ada jin jadi bidan?"

Dari semua kemistisan nyokap, yang paling gue inget adalah kejadian beberapa tahun lalu. Tepatnya saat gue masih SMA kelas 1.

Malam itu dua temen sekolah gue yang bernama Tedy dan Justin tiba-tiba dateng ke rumah. Tedy adalah temen sekelas gue. Sedangkan Justin beda kelas. Nama asli Justin adalah Muksin. Dia dipanggil Justin karna permintaan dari dia sendiri. Setiap dipanggil Muksin dia nggak mau nengok, sambil bilang.. "jangan panggil Muksin. Panggil gue Justin!".

Dua orang anak manusia yang bentuknya lebih mirip anak gunung krakatau itu ke rumah gue dengan tujuan utama; main PS gratis. "Dim, PS lu masih ada kan? Ini, si Justin ngajakin gue ke rumah lu buat main PS" kata Tedy sambil nunjuk ke Justin. "Lah, kok gue, Ted?" "Lah emang elu kan tadi yang ngajak" "kapan?" "Tadi" "tadi kapan?". Sebelum perdebatan nggak penting itu menyebabkan perpecahan antar umat beragama, terpaksa mereka langsung gue suruh masuk.

Sesampainya di kamar gue, Tedy dan Justin tanpa basa-basi langsung nyalain PS. Mereka main berdua. Gue cuma bagian nonton dan ngecengin yang kalah doang. Sengaja nggak ikutan. Karna mereka jauh lebih jago dari gue.

Mungkin malam itu Justin lagi sial. Dia nggak menang samasekali lawan Tedy. Emosinya mulai nggak stabil. Dicengin dikit, tersinggung, marah. Akhirnya Tedy diem. Justin diem. Gue ikutan diem. Suasananya jadi agak mencekam.

Tiba-tiba...

"BRAKKK!" Stik PS gue jatuh berbarengan dengan badan Justin. Dia kejang-kejang di lantai. Matanya melotot. Gue dan Tedy kaget dan langsung loncat keluar kamar.

Saat itu bokap keluar kota. Yang ada di rumah cuma gue dan nyokap. Setelah gue kasih tau kalo Justin kejang-kejang di kamar gue, nyokap pun dengan segera melihat keadaan Justin.

Ternyata Justin masih kejang-kejang. Sabmbil nunjuk-nunjuk Justin, nyokap gue pun berkata "KESURUPAN! DIA PASTI KESURUPAN!"

Gue panik. Tedy panik. Tapi nyokap gue nggak panik. Dia malah ngucap salam "Assalamualaikum!". Gue makin panik. Jangan-jangan nyokap gue ikut kesurupan.

"Siapa kamu? Keluar! Jangan sampe saya kasih selangkangan nih. Keluar!"

Entah gimana ceritanya, setelah diancam dengan selangkangan, Justin berhenti kejang-kejang. Dia terbaring lemah di lantai. Nyokap gue pun segera mengambil air putih. Dan menyemburkannya ke muka Justin. Bener-bener berasa ngeliat adegan tayangan-tayangan kesurupan yang ada di TV. Nggak nyangka, ternyata nyokap gue sakti.

Setelah badannya mulai fit, Justin diantar Tedy pulang ke rumahnya. Dan kejadian malam itu membuat gue terpaksa tidur di ruang tamu. Bukan takut. Cuma males aja kalo kejadian yang menimpa Justin, ikut menimpa gue juga.

Semenjak gue tau nyokap bisa ngusir setan, gue jadi percaya dengan semua mitos yang dia bilang. Gue jadi nggak berani keluar magrib, nggak berani buang air panas sembarang, dan ketika ada orang kesurupan, gue harus segera mengancamnya dengan selangkangan.

Beberapa bulan kemudian. Ternyata Justin sering kejang-kejang di sekolah. Apa mungkin setan yang di rumah gue masih ngikutin Justin? Setelah diselidiki oleh badan intelejen negara yang berkerja sama dengan UNESCO, akhirnya semua terungkap. Ternyata, penyebab kejang-kejangnya Justin bukan seperti apa yang nyokap gue pikir. Dia kejang-kejang karna punya penyakit Epilepsi. Atau yang biasa disebut dengan ayan.

1. Ternyata nyokap gue nggak sakti.
2. Gue bersyukur ketika kejang-kejang di rumah gue, Justin selamat dari ancaman selangkangan nyokap gue.

Selasa, 25 Februari 2014

Semenjak Ada Socmed

Sekarang ini hampir semua orang punya akun socmed. Tujuannya pun macem-macem. Ada yang buat pamer, ada yang buat nyari pacar, ada yang buat curhat, bahkan ada juga yang bikin akun socmed tanpa tujuan. Iya. Cuma buat punya-punyaan doang.

Pokoknya orang yang bikin akun socmed cuma buat punya-punyaan doang jangan dicontoh. Itu termasuk dalam ciri-ciri perilaku menyimpang.

Gue cuma punya 1 akun socmed. Twitter dan Facebook. Kenapa gue bilang 1? Karna gue bikin Facebook cuma buat punya-punyaan doang.

Semenjak socmed menjadi tren, peradaban manusia perlahan mulai berubah. Fungsi-fungsi dalam kebutuhan manusia pun semakin bertambah.

Dulu fungsi makanan cuma buat menambah karbohidrat dalam tubuh. Sekarang makanan dijadiin bahan buat menambah koleksi foto di instagram.

Dulu fungsi mobil cuma dijadiin sebagai alat transportasi. Sekarang mobil dijadiin tempat buat foto-fotoan.

Dulu fungsi kamar mandi cuma buat mandi atau buang air. Sekarang kamar mandi dijadiin tempat buat foto-fotoan.

Semenjak ada socmed, citra anak gaul juga jadi semakin jelek. Karena yang gue liat, beberapa orang di socmed cenderung maksa pengen dibilang gaul. Yang akhirnya malah jadi salah gaul.

Dari sekian banyak yang eksis di socmed, ada beberapa spesies yang paling ngeselin:

1. Spesies manusia penuh drama.
Ciri-ciri: ketika moodnya lagi jelek, suka ngetweet atau nulis status bawa-bawa nama Tuhan. You know yang kayak.. "Tuhan, kenapa hidupku seperti ini, Tuhan. Aku udah nggak kuat lagi, Tuhan. Nggak ada lagi yang sayang sama aku. Ambil aku sekarang, Tuhan. Ambiiiiiil!" Orang kayak gitu, pas diambil beneran pasti protes "Tuhan, kok diambil beneran? Aku kan cuma iseng doang. Huft!"

2. Spesies manusia purba.
Ciri-ciri: punya gaya tulisan sendiri. Gede, kecil, angka, kecil, gede, angka. Baca tulisannya kayak baca tulisan di prasasti jaman prasejarah.

3. Spesies manusia salah gaul.
Ciri-ciri: setiap jalan beberapa meter suka check-in di Path. (I'm at blablabla with 145 others) udah gitu, pagi, siang, sore, malem, selalu upload foto selfie dengan pose yang hampir sama. Kepala dimiring-miringin, mulut di manyun-manyunin. Ceritanya mau pose duck face, hasil akhirnya malah kayak soang.

4. Spesies manusia salah asuhan.
Ciri-ciri: suka cerita masalah yang terlalu pribadi. Ada masalah sama keluarganya, marah-marahnya di socmed. Seakan-akan seluruh umat manusia harus tau masalah dia dan keluarganya. Seakan-akan cuma dia yang di dunia ini hidupnya paling menderita.

5. Spesies manusia suka nyinyir.
Ciri-ciri: hidupnya nggak bahagia.

Untuk sekarang ini, gue cuma nyaman sama Twitter. Pernah nyoba socmed lain, tapi nggak ada yang bener-bener cocok. Dulu gue sempet bikin akun instagram. Ternyata isinya cuma orang-orang yang hobi upload foto. Terus gue mikir, gue harus upload foto apaan? Foto gue? Foto temen-temen gue? Foto keluarga-keluarga gue?

Daripada akun instagram gue nggak aktif, terpaksa gue foto-fotoin corong minyak, kompor, tabung LPG, terus gue upload di instagram. Hasilnya? Nggak ada yang peduli.

Semenjak saat itu gue percaya, nggak bakal ada orang yang peduli sama foto yang lo upload di socmed kecuali lo cewek, dan lo cantik.

Cewek cantik, mau upload foto selfie sehari 15 kali juga orang bakal tetep suka. Hal ini nggak berlaku buat cowok. Mau seganteng apapun, kalo setiap hari selalu upload foto selfie, yang suka ngeliat fotonya mungkin cuma cowok-cowok abnormal.

Seiring berjalannya waktu. Pose selfie semakin kreatif. Dulu, selfie yang paling ngehits adalah foto dari sudut paling atas. Sampe yang keliatan cuma jidat sama ubun-ubunnya doang. Sekarang, pose selfie udah berinovasi. Ada yang selfie di depan cermin, di darat, di dalem air, bahkan waktu itu ada astronot selfie di luar angkasa. Tinggal tunggu aja. Suatu saat pasti ada orang yang selfie di dalem tanah.

Senin, 27 Januari 2014

[Review] Novel Jomblo

Novel bertema komedi cinta karya Adhitya Mulya ini bukan sepenuhnya bercerita tentang kehidupan jomblo yang selama ini selalu terkesan hina dan penuh derita. Bahkan bukan hanya di real life, kaum jomblo juga sering menjadi korban bullying di twitter. Terutama ketika malam minggu.

Kalo gue sih nggak pernah ikutan ngebully jomblo. Nggak tega. Tanpa dibully pun mereka sudah cukup tersiksa baik lahir maupun batin. Ya namanya juga jomblo. Ketika butuh kehangatan, yang bisa mereka peluk mungkin hanyalah kompor, knalpot, atau mengoleskan balsem ke sekujur badan.

Novel ini dicetak pertama kali di tahun 2003. Dan sudah dicetak ulang sebanyak 20 kali. Waktu itu, fenomena jomblo emang lagi ngehits. Kalo sekarang-sekarang ini, mungkin jomblo sudah termasuk kata yang cukup klise. Istilah gaulnya "udah basi"

Awalnya gue mengira cerita dari novel ini sama klisenya seperti judulnya. Hanya cerita-cerita tentang kehidupan jomblo pada umumnya. Yang dari awal sampai akhir cerita selalu menderita akibat sering ditolak, desperate, bunuh diri, mati, jasadnya nggak diterima bumi. Tapi ternyata gue salah. Novel ini jauh dari apa yang gue perkirakan. Ada banyak pelajaran yang bikin kita mikir. Atau seenggaknya ngebatin "iya juga ya"

Adhitya Mulya mampu menulis novel ini dengan smooth. Karakter-karakter yang disajikan juga membuat ceritanya jadi nggak monoton. Agus, Doni, Olip, Bimo. Permasalahan mereka cukup mewakili problematika percintaan yang selama ini sering kita rasakan.

AGUS
Walaupun digambarkan sebagai pemuda yang nggak terlalu ganteng dan cenderung berbentuk abstrak, Agus punya sifat romantis dan humoris yang mampu membuat hati perempuan meleleh. Ada satu adegan yang sangat menggambarkan karakter Agus. Yaitu ketika dia rela mengendap-endap masuk ke ruang T.U kampus dengan memakai kostum ayam hanya demi mendapatkan nomer telpon mahasiswa bernama Lani, perempuan yang saat itu membuat hidupnya menjadi lebih berwarna. Walaupun gagal, tapi usaha Agus yang konyol itu mampu membuat Lani merasa sangat diperjuangkan. Dan pada akhirnya, Lani bukan hanya memberikan nomer telponnya, tapi juga hatinya, dan seluruh jiwa raganya.

DONI
Karakter Doni digambarkan sebagai bad boy. Dia menakhlukan hati perempuan hanya untuk memuaskan nafsunya. Diantara 3 sahabatnya, cuma Doni yang paling mengerti sifat-sifat perempuan. Semua yang perempuan mau, dia tau. Mungkin itu karena bakat. Atau mungkin karena dulunya Doni adalah perempuan.

OLIP
Sifat Olip yang terlalu kaku, membuat hampir semua kata-kata yang keluar dari mulutnya menjadi sangat lucu. Memang, dia nggak niat melucu. Tapi sifatnya yang terlalu kaku itu membuat dia menjadi pantas untuk ditertawakan. Pemuda yang berasal dari pelosok pedalaman ini juga punya logat tersendiri ketika berbicara.
Agus: "kalo eluh diberi kesaktian bisa merubah warna terong, eluh pilih warna apa?"
Olip: "awak pilih merah jambu, setelah itu awak suruh kau pegang terong itu, lalu awak lempar kau ke jurang"

BIMO
Siapapun yang mengenal Bimo, akan percaya bahwa, Spesies Meganthropus Paleo Javanicus ternyata belum punah. Manusia jadi-jadian yang berasal dari pulau jawa ini otaknya lumayan geser. Contoh kasus, ketika Agus berusaha menghibur Olip yang patah hati setelah cintanya ditolak, Bimo malah asik ngejar-ngejar ayam. Ketika Olip dan Doni berantem gara-gara rebutan perempuan, bukan panik, Bimo malah asik ngemil jangkrik. Dari semua karakter yang ada, Bimo lah yang paling memperkuat unsur komedi di novel ini.

Keempat manusia dengan sifat yang berbeda-beda itu kemudian dijadikan satu. Dibumbui dengan beberapa konflik yang bisa membuat pembaca jadi mikir, ketawa, dan mikir sambil ketawa. Nah, kira-kira begitulah review gue mengenai novel Jomblo karya Adhitya Mulya. Walaupun judulnya agak mengenaskan, tapi pokok permasalahan dari cerita dalam novel ini bukanlah sepenuhnya tentang penderitaan. Melainkan tentang pilihan. Karena terkadang seseorang harus memilih dan menentukan, ke arah mana hatinya harus pergi.

Kamis, 23 Januari 2014

Kisah Sadis di Hari Minggu..

Minggu adalah hari dimana semua umat manusia bisa hidup dengan damai setelah beberapa hari sebelumnya beraktivitas dan bekerja keras bagaikan kuda. Begitupun dengan gue. Waktu itu gue bertekad akan istirahat total. Demi bertahan hidup. Karna hari-hari sebelumnya gue kurang tidur akibat sibuk mengerjakan tugas. "Gue mau tidur 24 jam penuh!"

Tapi, hari minggu yang gue kira akan menjadi hari yang indah itu menjadi hari yang paling tragis dalam hidup gue. Iya. Kisah sadis di hari minggu..

Sabtu malam. Gue berencana untuk tidur dari minggu jam 1 pagi, sampai senin jam 1 pagi. Rencana brilian gue berjalan lancar ketika gue tertidur sekitar jam 1. Dan semua kisah sadis dalam cerita ini dimulai dari awal gue membuka mata. Pukul 4 pagi. Disaat ayam-ayam masih tertidur pulas, gue terbangun karna suara berisik yang berasal dari hp gue. Ada telpon masuk dari nomer tak dikenal. Awalnya gue reject. Karna gue termasuk tipe orang yang nggak mau diganggu ketika sedang tidur. Walaupun ada ombak menyapu rumah gue, kalo gue masih pengen tidur, gue nggak bakal bangun.

Tapi setelah gue reject berkali-kali, penelpon misterius itu nggak mau nyerah. Dia tetap optimis bahwa telponnya bakal gue angkat. Akhirnya, gue yang nyerah. Gue nerima telpon itu dengan harapan, setelah gue terima, dia nggak bakal nelpon lagi, dan gue bisa dengan tenang melanjutkan tidur.

"Hallo?"
"Hallo?" Ternyata si penelpon misterius ini adalah seorang bapak-bapak.
"Ini siapa ya?" Tanya gue.
"Ini opung kau! Lupa kau sama opung sendiri? Bah!"

Sampai di sini, gue merasa ada yang salah dengan orang ini. Pertama, dia berbicara dengan logat batak yang cukup kental. Sedangkan gue, nggak pernah punya saudara orang batak. Kedua, spesies manusia macam apa yang nyariin saudaranya pagi-pagi buta.

"Salah sambung, om!"
"Ah macam mana bisa salah sambung! Jangan mengada-ada kau!"
"Sumpah, salah sambung!"
"Kau ini Sondang anaknya si Alex kan?"
"Bukaaaan. Saya Dimas. Bukan Sondang. Dan setau saya, saya nggak punya bapak yang namanya Alex". Gue mencoba meyakinkan.
"Wah kalau begitu, aku salah sambung!"
"Kan tadi saya bilang begitu!!". Gue pun menutup telpon dan kembali melanjutkan tidur.

Beberapa menit kemudian, hp gue kembali berbunyi..

Si penelpon misterius itu, menghubungi gue lagi. Terpaksa harus gue angkat karna gue tau, kalo nggak gue angkat, dia pasti nggak bakal berhenti nelponin gue.

"Apa lagi?"
"Jadi, Sondang mana Sondang?". Tanpa pikir panjang, gue langsung menutup telpon. Dan segera mematikannya. Sebelum gue reflek jual hp karna dibikin kesel sama opungnya si Sondang yang entah siapa itu.

Pukul 6 pagi. Gue terbangun lagi. Kali ini gara-gara hal yang nggak kalah ngeselin dari sebelumnya. Gue terbangun gara-gara suara kucing kawin. Sengaja gue diemin karna gue pikir, kucing kawin biasanya nggak lama. Paling cuma 5 menit.

30 menit kemudian..

Setaaan! Dua kucing nggak tau aturan itu masih teriak-teriak. Gue harus nyari cara buat menghentikan perilaku amoral mereka. Dengan penuh rasa kesal, gue keluar rumah. Melempar sendal, yang entah sendal siapa, ke arah dua kucing yang sedang dimabuk asmara itu.

Setelah gue lemparin sendal, kucing betinanya kabur. Sedangkan kucing jantannya menatap sinis ke arah gue. Matanya seakan berkata "biadab! Tunggu pembalasanku!". Tapi gue nggak mau kalah. Gue juga membalas tatapan sinisnya, seraya berkata "APA LO?!" Dan kucing mesum itu pun kabur.

Gue kembali ke kasur. Mencoba melanjutkan perjuangan menikmati setiap lekuk tubuh kasur gue yang indah. Baru 5 menit tertidur, muncul lagi satu cobaan hidup dari Tuhan.

"DIMAAASSS!" Suara teriakan nyokap gue, memecah keheningan. Bahkan hampir memecahkan gendang telinga setiap orang yang ada di sekitar rumah gue dalam radius 10 kilometer.
"Ya mah? Kenapa?"
"Kamu udah bangun?"
"Belum nih"
"...."

Pagi itu nyokap gue iseng nyobain resep masakan yang dia baca dari sebuah majalah. Tanpa sadar bahwa keisengan dia secara nggak langsung sudah menyiksa dan mengorbankan darah dagingnya sendiri.

"Mamah lagi nyobain resep masakan dari majalah. Tapi, bahannya kurang"
"Terus?"
"Tolong beliin jeruk nipis ya"

Saat itu gue seakan ada di situasi yang paling sulit dalam hidup gue. Kalo gue tolak, gue khawatir akan langsung dikutuk jadi batu. Kalo gue turutin, hidup gue akan semakin tersiksa. Harus masuk ke pelosok pasar dan dempet-dempetan dengan ibu-ibu bau balsem. Hanya demi seonggok jeruk nipis.

Setelah menatap mata nyokap yang penuh ancaman, gue terpaksa memilih untuk menurut. Karna gue nggak mau bernasib sama seperti Malin Kundang. Lagian nggak keren banget dikutuk jadi batu cuma gara-gara jeruk nipis.

Dalam otak gue, mencari jeruk di tengah pasar pasti gampang. Tinggal nanya dari satu tukang sayur ke tukang sayur lainnya, kelar. Tapi ternyata gue salah. Sesampainya di pasar, gue muter-muter nyari tukang jeruk nipis. Tukang sayur yang gue tanya, jawabnya cuma "di situ". Tanpa memberikan arah yang lebih spesifik. Satu jam berlalu. Gue masih belum menemukan si tukang jeruk nipis sialan ini. Perjalanan mencari jeruk nipis, terasa seperti perjalan mencari 9 bolan naga. (Eh, 7 apa 9? Ya pokoknya segitu lah)

Setelah nanya-nanya ke hampir semua pedagang, akhirnya gue menarik kesimpulan. Bahwa mungkin tukang jeruk nipis yang gue cari, hari itu sedang cuti. Pencarian gue adalah Mission Imposible. Gue pun kembali ke rumah. Tanpa hasil. Karna udah terlalu capek, gue udah nggak peduli kalaupun nantinya gue dikutuk jadi batu sama nyokap sendiri. Gue pasrah.

Matahari semakin terik. Setelah panas-panasan di jalan dalam perjalanan pulang, akhirnya gue sampai di rumah. Ada perasaan cemas yang mengganggu gue saat itu. Takut ketika gue kabarin bahwa gue pulang tanpa membawa jeruk nipis pesanannya, dia langsung shock, dan teriak "APAH?! TIDAK MUNGKIN!". Lalu dilanjutkan dengan adegan memegang dada. Matanya mengarah ke atas. Badannya kejang-kejang. Serangan jantung. Tapi kayaknya nggak mungkin. Itu cuma terjadi di adegan-adegan sinetron.

Gue memberanikan diri menghadapi kenyataan. Dengan perasaan cemas yang bercampur denga rasa takut dikutuk jadi batu, gue berjalan ke dapur untuk bertemu dengan nyokap. Dia terlihat sedang sibuk mengiris-ngiris wortel. Belum sempat gue bersuara, nyokap udah menengok ke arah gue. "Eh. Gimana? Dapet jeruk nipisnya?". Gue seketika merasa seperti seorang spionase Amerika yang tertangkap di Rusia. Dan sebelum dieksekusi mati, ditanya dulu "ada kata-kata terakhir?"

"Jadi gini, mah.."
"Gimana gimana?"
"Uuuumm"
"Kamu pasti nggak dapet jeruk nipisnya ya? Yaudah gapapa. Ternyata setelah mamah periksa lagi, di kulkas, jeruk nipis masih banyak"

Allahuakbar!

Rasanya campur aduk. Antara lega dan kesel. Lega karna gue nggak jadi dieksekusi mati, kesel karna udah buang-buang energi keliling pasar buat nyari jeruk nipis yang sebenernya udah ada di kulkas.

Untuk yang kesekian kalinya, gue segera kembali ke haribaan kasur untuk kembali melanjutkan tidur. Nggak lama, gue bisa tertidur lelap. Kali ini, gue bisa tidur sekitar 5 jam. Dari jam 10 siang, terbangun di jam 3 sore. Lumayan.

Saking enaknya tidur, gue lupa dari kemaren sore belum makan. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, gue berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Cuma ada beberapa peralatan masak, piring-piring kotor, dan sendal jepit yang tergeletak tak berdaya di lantai. Sepertinya gue nggak menemukan sesuatu yang bisa gue makan.

Gue pun mencari nyokap untuk meminta klarifikasi tentang kemana perginya masakan yang tadi dia masak.
"Maaaah.. maaaah..."
"Apaaaa?" nyokap gue menyaut. Suaranya berasal dari dalam kamarnya.
"Makanan yang tadi mamah masak, kemana?"
"Oh itu? Gagal. Rasanya aneh. Daripada nggak ada yang makan, mamah kasih kucing aja"
"Astaghfirullah.."

"Oh iya tadi Laras ke sini" kata nyokap gue, mencoba membahas topik lain sebagai pengalihan isu atas kegagalannya memberi makan anaknya. "Dia nyari kamu. Tapi kamunya nggak bisa dibangunin"
"Terus?"
"Ya dia pulang. Dia nunggu kamu di rumahnya".
Laras adalah cewek gue. Kami udah jalan 1 tahun. Akhir-akhir ini, hubungan kami agak renggang. Jarang ketemu. Sama-sama sibuk.

Sore itu, gue dateng ke rumah Laras. Sekalian minta makan.
"Hai"
"Eh, kamu. Kangen ya sama aku?"
"Iya. Mamah kamu, masak?"
"....."

Sambil melahap dengan cepat makanan dari Laras, kami ngobrol. Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya Laras berkata.. "Kayaknya kita udah nggak cocok". Ucapan Laras ini sempat membuat beberapa nasi yang ada di mulut gue, melompat ke muka Laras. Saking kagetnya.

"Maksud kamu?"
"Percuma. Yang berusaha mempertahankan hubungan ini cuma satu pihak. Cuma aku. Bukan kita"
"Tapi.."
"Aku harus memilih jalan yang terbaik. Maaf, kita putus"
"Hmm.."
"Kok hmm?"
"Sebenernya yang membuat kita seperti ini ya kita berdua. Aku sibuk. Kamu sibuk. Kita jarang ketemu. Jalan yang terbaik harusnya bertemu. Bukan berpisah."
Laras terdiam. Gue pergi meninggalkan dia dan meninggalkan makanan yang belum sempat gue habiskan.

Gue memang sengaja nggak meminta dia untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Karena dari kalimat yang dia ucapkan, bisa diambil kesimpulan kalau sebenarnya, nggak ada lagi tempat buat gue di hatinya.

Sore berganti malam. Biru dan jingga mulai habis ditelan gelap. Pelan-pelan.

Pukul 7 malam. Entah kenapa, malam itu, suasana kamar gue terasa lebih sunyi dari malam-malam sebelumnya. Membuat seluruh sel-sel dalam otak gue serempak meneriakan nama Laras. Di satu sisi, gue benci dengan dia. Di sisi yang lain, ada harapan dalam hati gue, semoga malam ini dia nelpon gue. Dan meminta gue untuk memulai semua dari awal.

Waktu hampir menujukan pukul 10 malam. Harapan gue terancam pupus. Laras nggak nelpon. Hp gue sepi. Gue menghembuskan napas panjang. Mencoba menenangkan diri, sambil berkata dalam hati "yaudah lah.."

Setelah beberapa menit melamun, hp gue bunyi. Nada dering telpon masuk. Gue dengan cepat menyergap hp gue yang tergeletak di kasur. Dengan penuh harapan bahwa itu telpon dari Laras.

"Hallo?"
"Ya hallo. Sondang mana Sondang?"
"Innalilahi wainailaihirojiun.."
"Hah?"

THE END.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...