Senin, 27 Januari 2014

[Review] Novel Jomblo

Novel bertema komedi cinta karya Adhitya Mulya ini bukan sepenuhnya bercerita tentang kehidupan jomblo yang selama ini selalu terkesan hina dan penuh derita. Bahkan bukan hanya di real life, kaum jomblo juga sering menjadi korban bullying di twitter. Terutama ketika malam minggu.

Kalo gue sih nggak pernah ikutan ngebully jomblo. Nggak tega. Tanpa dibully pun mereka sudah cukup tersiksa baik lahir maupun batin. Ya namanya juga jomblo. Ketika butuh kehangatan, yang bisa mereka peluk mungkin hanyalah kompor, knalpot, atau mengoleskan balsem ke sekujur badan.

Novel ini dicetak pertama kali di tahun 2003. Dan sudah dicetak ulang sebanyak 20 kali. Waktu itu, fenomena jomblo emang lagi ngehits. Kalo sekarang-sekarang ini, mungkin jomblo sudah termasuk kata yang cukup klise. Istilah gaulnya "udah basi"

Awalnya gue mengira cerita dari novel ini sama klisenya seperti judulnya. Hanya cerita-cerita tentang kehidupan jomblo pada umumnya. Yang dari awal sampai akhir cerita selalu menderita akibat sering ditolak, desperate, bunuh diri, mati, jasadnya nggak diterima bumi. Tapi ternyata gue salah. Novel ini jauh dari apa yang gue perkirakan. Ada banyak pelajaran yang bikin kita mikir. Atau seenggaknya ngebatin "iya juga ya"

Adhitya Mulya mampu menulis novel ini dengan smooth. Karakter-karakter yang disajikan juga membuat ceritanya jadi nggak monoton. Agus, Doni, Olip, Bimo. Permasalahan mereka cukup mewakili problematika percintaan yang selama ini sering kita rasakan.

AGUS
Walaupun digambarkan sebagai pemuda yang nggak terlalu ganteng dan cenderung berbentuk abstrak, Agus punya sifat romantis dan humoris yang mampu membuat hati perempuan meleleh. Ada satu adegan yang sangat menggambarkan karakter Agus. Yaitu ketika dia rela mengendap-endap masuk ke ruang T.U kampus dengan memakai kostum ayam hanya demi mendapatkan nomer telpon mahasiswa bernama Lani, perempuan yang saat itu membuat hidupnya menjadi lebih berwarna. Walaupun gagal, tapi usaha Agus yang konyol itu mampu membuat Lani merasa sangat diperjuangkan. Dan pada akhirnya, Lani bukan hanya memberikan nomer telponnya, tapi juga hatinya, dan seluruh jiwa raganya.

DONI
Karakter Doni digambarkan sebagai bad boy. Dia menakhlukan hati perempuan hanya untuk memuaskan nafsunya. Diantara 3 sahabatnya, cuma Doni yang paling mengerti sifat-sifat perempuan. Semua yang perempuan mau, dia tau. Mungkin itu karena bakat. Atau mungkin karena dulunya Doni adalah perempuan.

OLIP
Sifat Olip yang terlalu kaku, membuat hampir semua kata-kata yang keluar dari mulutnya menjadi sangat lucu. Memang, dia nggak niat melucu. Tapi sifatnya yang terlalu kaku itu membuat dia menjadi pantas untuk ditertawakan. Pemuda yang berasal dari pelosok pedalaman ini juga punya logat tersendiri ketika berbicara.
Agus: "kalo eluh diberi kesaktian bisa merubah warna terong, eluh pilih warna apa?"
Olip: "awak pilih merah jambu, setelah itu awak suruh kau pegang terong itu, lalu awak lempar kau ke jurang"

BIMO
Siapapun yang mengenal Bimo, akan percaya bahwa, Spesies Meganthropus Paleo Javanicus ternyata belum punah. Manusia jadi-jadian yang berasal dari pulau jawa ini otaknya lumayan geser. Contoh kasus, ketika Agus berusaha menghibur Olip yang patah hati setelah cintanya ditolak, Bimo malah asik ngejar-ngejar ayam. Ketika Olip dan Doni berantem gara-gara rebutan perempuan, bukan panik, Bimo malah asik ngemil jangkrik. Dari semua karakter yang ada, Bimo lah yang paling memperkuat unsur komedi di novel ini.

Keempat manusia dengan sifat yang berbeda-beda itu kemudian dijadikan satu. Dibumbui dengan beberapa konflik yang bisa membuat pembaca jadi mikir, ketawa, dan mikir sambil ketawa. Nah, kira-kira begitulah review gue mengenai novel Jomblo karya Adhitya Mulya. Walaupun judulnya agak mengenaskan, tapi pokok permasalahan dari cerita dalam novel ini bukanlah sepenuhnya tentang penderitaan. Melainkan tentang pilihan. Karena terkadang seseorang harus memilih dan menentukan, ke arah mana hatinya harus pergi.

Kamis, 23 Januari 2014

Kisah Sadis di Hari Minggu..

Minggu adalah hari dimana semua umat manusia bisa hidup dengan damai setelah beberapa hari sebelumnya beraktivitas dan bekerja keras bagaikan kuda. Begitupun dengan gue. Waktu itu gue bertekad akan istirahat total. Demi bertahan hidup. Karna hari-hari sebelumnya gue kurang tidur akibat sibuk mengerjakan tugas. "Gue mau tidur 24 jam penuh!"

Tapi, hari minggu yang gue kira akan menjadi hari yang indah itu menjadi hari yang paling tragis dalam hidup gue. Iya. Kisah sadis di hari minggu..

Sabtu malam. Gue berencana untuk tidur dari minggu jam 1 pagi, sampai senin jam 1 pagi. Rencana brilian gue berjalan lancar ketika gue tertidur sekitar jam 1. Dan semua kisah sadis dalam cerita ini dimulai dari awal gue membuka mata. Pukul 4 pagi. Disaat ayam-ayam masih tertidur pulas, gue terbangun karna suara berisik yang berasal dari hp gue. Ada telpon masuk dari nomer tak dikenal. Awalnya gue reject. Karna gue termasuk tipe orang yang nggak mau diganggu ketika sedang tidur. Walaupun ada ombak menyapu rumah gue, kalo gue masih pengen tidur, gue nggak bakal bangun.

Tapi setelah gue reject berkali-kali, penelpon misterius itu nggak mau nyerah. Dia tetap optimis bahwa telponnya bakal gue angkat. Akhirnya, gue yang nyerah. Gue nerima telpon itu dengan harapan, setelah gue terima, dia nggak bakal nelpon lagi, dan gue bisa dengan tenang melanjutkan tidur.

"Hallo?"
"Hallo?" Ternyata si penelpon misterius ini adalah seorang bapak-bapak.
"Ini siapa ya?" Tanya gue.
"Ini opung kau! Lupa kau sama opung sendiri? Bah!"

Sampai di sini, gue merasa ada yang salah dengan orang ini. Pertama, dia berbicara dengan logat batak yang cukup kental. Sedangkan gue, nggak pernah punya saudara orang batak. Kedua, spesies manusia macam apa yang nyariin saudaranya pagi-pagi buta.

"Salah sambung, om!"
"Ah macam mana bisa salah sambung! Jangan mengada-ada kau!"
"Sumpah, salah sambung!"
"Kau ini Sondang anaknya si Alex kan?"
"Bukaaaan. Saya Dimas. Bukan Sondang. Dan setau saya, saya nggak punya bapak yang namanya Alex". Gue mencoba meyakinkan.
"Wah kalau begitu, aku salah sambung!"
"Kan tadi saya bilang begitu!!". Gue pun menutup telpon dan kembali melanjutkan tidur.

Beberapa menit kemudian, hp gue kembali berbunyi..

Si penelpon misterius itu, menghubungi gue lagi. Terpaksa harus gue angkat karna gue tau, kalo nggak gue angkat, dia pasti nggak bakal berhenti nelponin gue.

"Apa lagi?"
"Jadi, Sondang mana Sondang?". Tanpa pikir panjang, gue langsung menutup telpon. Dan segera mematikannya. Sebelum gue reflek jual hp karna dibikin kesel sama opungnya si Sondang yang entah siapa itu.

Pukul 6 pagi. Gue terbangun lagi. Kali ini gara-gara hal yang nggak kalah ngeselin dari sebelumnya. Gue terbangun gara-gara suara kucing kawin. Sengaja gue diemin karna gue pikir, kucing kawin biasanya nggak lama. Paling cuma 5 menit.

30 menit kemudian..

Setaaan! Dua kucing nggak tau aturan itu masih teriak-teriak. Gue harus nyari cara buat menghentikan perilaku amoral mereka. Dengan penuh rasa kesal, gue keluar rumah. Melempar sendal, yang entah sendal siapa, ke arah dua kucing yang sedang dimabuk asmara itu.

Setelah gue lemparin sendal, kucing betinanya kabur. Sedangkan kucing jantannya menatap sinis ke arah gue. Matanya seakan berkata "biadab! Tunggu pembalasanku!". Tapi gue nggak mau kalah. Gue juga membalas tatapan sinisnya, seraya berkata "APA LO?!" Dan kucing mesum itu pun kabur.

Gue kembali ke kasur. Mencoba melanjutkan perjuangan menikmati setiap lekuk tubuh kasur gue yang indah. Baru 5 menit tertidur, muncul lagi satu cobaan hidup dari Tuhan.

"DIMAAASSS!" Suara teriakan nyokap gue, memecah keheningan. Bahkan hampir memecahkan gendang telinga setiap orang yang ada di sekitar rumah gue dalam radius 10 kilometer.
"Ya mah? Kenapa?"
"Kamu udah bangun?"
"Belum nih"
"...."

Pagi itu nyokap gue iseng nyobain resep masakan yang dia baca dari sebuah majalah. Tanpa sadar bahwa keisengan dia secara nggak langsung sudah menyiksa dan mengorbankan darah dagingnya sendiri.

"Mamah lagi nyobain resep masakan dari majalah. Tapi, bahannya kurang"
"Terus?"
"Tolong beliin jeruk nipis ya"

Saat itu gue seakan ada di situasi yang paling sulit dalam hidup gue. Kalo gue tolak, gue khawatir akan langsung dikutuk jadi batu. Kalo gue turutin, hidup gue akan semakin tersiksa. Harus masuk ke pelosok pasar dan dempet-dempetan dengan ibu-ibu bau balsem. Hanya demi seonggok jeruk nipis.

Setelah menatap mata nyokap yang penuh ancaman, gue terpaksa memilih untuk menurut. Karna gue nggak mau bernasib sama seperti Malin Kundang. Lagian nggak keren banget dikutuk jadi batu cuma gara-gara jeruk nipis.

Dalam otak gue, mencari jeruk di tengah pasar pasti gampang. Tinggal nanya dari satu tukang sayur ke tukang sayur lainnya, kelar. Tapi ternyata gue salah. Sesampainya di pasar, gue muter-muter nyari tukang jeruk nipis. Tukang sayur yang gue tanya, jawabnya cuma "di situ". Tanpa memberikan arah yang lebih spesifik. Satu jam berlalu. Gue masih belum menemukan si tukang jeruk nipis sialan ini. Perjalanan mencari jeruk nipis, terasa seperti perjalan mencari 9 bolan naga. (Eh, 7 apa 9? Ya pokoknya segitu lah)

Setelah nanya-nanya ke hampir semua pedagang, akhirnya gue menarik kesimpulan. Bahwa mungkin tukang jeruk nipis yang gue cari, hari itu sedang cuti. Pencarian gue adalah Mission Imposible. Gue pun kembali ke rumah. Tanpa hasil. Karna udah terlalu capek, gue udah nggak peduli kalaupun nantinya gue dikutuk jadi batu sama nyokap sendiri. Gue pasrah.

Matahari semakin terik. Setelah panas-panasan di jalan dalam perjalanan pulang, akhirnya gue sampai di rumah. Ada perasaan cemas yang mengganggu gue saat itu. Takut ketika gue kabarin bahwa gue pulang tanpa membawa jeruk nipis pesanannya, dia langsung shock, dan teriak "APAH?! TIDAK MUNGKIN!". Lalu dilanjutkan dengan adegan memegang dada. Matanya mengarah ke atas. Badannya kejang-kejang. Serangan jantung. Tapi kayaknya nggak mungkin. Itu cuma terjadi di adegan-adegan sinetron.

Gue memberanikan diri menghadapi kenyataan. Dengan perasaan cemas yang bercampur denga rasa takut dikutuk jadi batu, gue berjalan ke dapur untuk bertemu dengan nyokap. Dia terlihat sedang sibuk mengiris-ngiris wortel. Belum sempat gue bersuara, nyokap udah menengok ke arah gue. "Eh. Gimana? Dapet jeruk nipisnya?". Gue seketika merasa seperti seorang spionase Amerika yang tertangkap di Rusia. Dan sebelum dieksekusi mati, ditanya dulu "ada kata-kata terakhir?"

"Jadi gini, mah.."
"Gimana gimana?"
"Uuuumm"
"Kamu pasti nggak dapet jeruk nipisnya ya? Yaudah gapapa. Ternyata setelah mamah periksa lagi, di kulkas, jeruk nipis masih banyak"

Allahuakbar!

Rasanya campur aduk. Antara lega dan kesel. Lega karna gue nggak jadi dieksekusi mati, kesel karna udah buang-buang energi keliling pasar buat nyari jeruk nipis yang sebenernya udah ada di kulkas.

Untuk yang kesekian kalinya, gue segera kembali ke haribaan kasur untuk kembali melanjutkan tidur. Nggak lama, gue bisa tertidur lelap. Kali ini, gue bisa tidur sekitar 5 jam. Dari jam 10 siang, terbangun di jam 3 sore. Lumayan.

Saking enaknya tidur, gue lupa dari kemaren sore belum makan. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, gue berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Cuma ada beberapa peralatan masak, piring-piring kotor, dan sendal jepit yang tergeletak tak berdaya di lantai. Sepertinya gue nggak menemukan sesuatu yang bisa gue makan.

Gue pun mencari nyokap untuk meminta klarifikasi tentang kemana perginya masakan yang tadi dia masak.
"Maaaah.. maaaah..."
"Apaaaa?" nyokap gue menyaut. Suaranya berasal dari dalam kamarnya.
"Makanan yang tadi mamah masak, kemana?"
"Oh itu? Gagal. Rasanya aneh. Daripada nggak ada yang makan, mamah kasih kucing aja"
"Astaghfirullah.."

"Oh iya tadi Laras ke sini" kata nyokap gue, mencoba membahas topik lain sebagai pengalihan isu atas kegagalannya memberi makan anaknya. "Dia nyari kamu. Tapi kamunya nggak bisa dibangunin"
"Terus?"
"Ya dia pulang. Dia nunggu kamu di rumahnya".
Laras adalah cewek gue. Kami udah jalan 1 tahun. Akhir-akhir ini, hubungan kami agak renggang. Jarang ketemu. Sama-sama sibuk.

Sore itu, gue dateng ke rumah Laras. Sekalian minta makan.
"Hai"
"Eh, kamu. Kangen ya sama aku?"
"Iya. Mamah kamu, masak?"
"....."

Sambil melahap dengan cepat makanan dari Laras, kami ngobrol. Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya Laras berkata.. "Kayaknya kita udah nggak cocok". Ucapan Laras ini sempat membuat beberapa nasi yang ada di mulut gue, melompat ke muka Laras. Saking kagetnya.

"Maksud kamu?"
"Percuma. Yang berusaha mempertahankan hubungan ini cuma satu pihak. Cuma aku. Bukan kita"
"Tapi.."
"Aku harus memilih jalan yang terbaik. Maaf, kita putus"
"Hmm.."
"Kok hmm?"
"Sebenernya yang membuat kita seperti ini ya kita berdua. Aku sibuk. Kamu sibuk. Kita jarang ketemu. Jalan yang terbaik harusnya bertemu. Bukan berpisah."
Laras terdiam. Gue pergi meninggalkan dia dan meninggalkan makanan yang belum sempat gue habiskan.

Gue memang sengaja nggak meminta dia untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Karena dari kalimat yang dia ucapkan, bisa diambil kesimpulan kalau sebenarnya, nggak ada lagi tempat buat gue di hatinya.

Sore berganti malam. Biru dan jingga mulai habis ditelan gelap. Pelan-pelan.

Pukul 7 malam. Entah kenapa, malam itu, suasana kamar gue terasa lebih sunyi dari malam-malam sebelumnya. Membuat seluruh sel-sel dalam otak gue serempak meneriakan nama Laras. Di satu sisi, gue benci dengan dia. Di sisi yang lain, ada harapan dalam hati gue, semoga malam ini dia nelpon gue. Dan meminta gue untuk memulai semua dari awal.

Waktu hampir menujukan pukul 10 malam. Harapan gue terancam pupus. Laras nggak nelpon. Hp gue sepi. Gue menghembuskan napas panjang. Mencoba menenangkan diri, sambil berkata dalam hati "yaudah lah.."

Setelah beberapa menit melamun, hp gue bunyi. Nada dering telpon masuk. Gue dengan cepat menyergap hp gue yang tergeletak di kasur. Dengan penuh harapan bahwa itu telpon dari Laras.

"Hallo?"
"Ya hallo. Sondang mana Sondang?"
"Innalilahi wainailaihirojiun.."
"Hah?"

THE END.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...