Sabtu, 29 Juni 2013

Perjalanan Hidup di Dunia Maya

Gue senang menceritakan keresahan-keresahan yang gue rasakan di blog ini. Dan kali ini gue gue ingin menceritakan keresahan yang pernah gue rasakan di sepanjang perjalanan hidup gue di dunia maya.
Social media adalah sesuatu yang sangat identik dengan dunia maya. Sekarang ini, hampir setiap umat manusia punya minimal satu akun social media. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nekek, bahkan di twitter, makhluk ghaib semacam pocong pun bisa menjadi idola para remaja-remaja lucu nan menggemaskan. Gue sendiri, akun social media pertama yang gue punya adalah friendster. Jujur gue udah mulai lupa fitur-fitur apa aja yang ada di friendster. Udah lama banget. Yang gue inget dari friendster cuma perihal kirim-kiriman testimoni. Selebihnya gue lupa.

Dulu waktu masih pake friendster gue sangatlah alay. Foto profil friendster gue pun setelah gue inget-inget, ternyata sangat menjijikan. Gue berpose manyun-manyun sok imut sambil nempelin jari telunjuk di bibir. Entah waktu itu gue lagi keserupun jin kafir macam apa. Yang jelas, pada waktu itu, pose seperti itu sangatlah ngehits di kalangan remaja-remaja gaul dan salah asuhan. Rambut gue dulu juga masih belah tengah ngikutin style-nya Ariel Peterpan. Jadi foto profil friensdster gue mungkin bisa dibilang mirip seperti anak hasil perkawinan silang antara soang dan Ariel Peterpan.

Seiring berjalannya waktu, friendster mulai ditinggalkan. Muncul situs pertemanan baru yang sangat fenomenal. Sebut saja namanya facebook. (bukan nama samaran) Pada waktu itu, seseorang akan dianggap hina jika orang itu nggak punya akun facebook. Dikucilkan dari pergaulan. Dipandang sebelah mata. Dan dipendam hidup-hidup di dalam tanah.
Karena gue nggak mau hal itu menimpa hidup gue, akhirnya gue pun memutuskan untuk ikut-ikutan bikin akun facebook, sama seperti teman-teman gue yang lain. Agak maksa sih sebenernya. Karena gue waktu itu adalah remaja ingusan yang lumayan gaptek. Gue masih inget waktu pertama kali ditanya temen perihal facebook. "Dim, gue minta facebook lo dong". Gue pun bingung harus jawab apa. Karena gue juga nggak tau facebook itu apa. Gue mecoba tenang. Walau panik, harus tetap terlihat cool. Dengan gaya yang sangat elegan dan senyum menawan ala nabi Yusuf, gue pun menjawab.. "uuuumm.. facebook ya? sorry, facebook gue ketinggalan di rumah. Besok deh gue bawa" . Entah temen gue ngerti atau nggak, dia jawab.. "oh. Yaudah. Besok aja gapapa"

Facebook adalah situs pertemanan paling populer saat itu. Hampir semua temen gue punya akun facebook. Setelah gue tau facebook itu apa, gue secepat mungkin minta bikinin temen gue. Ya itu tadi, dulu gue masih gaptek. Yang gue ngerti cuma gimana cara ngetik keyboard komputer pake tangan. Itu pun gue ngetiknya cuma bisa pake jari telunjuk. Nulis beberapa kalimat aja kadang bisa sampe setangah jam.
Akun facebook gue pun akhirnya lahir dengan selamat berkat bantuan temen gue. Dan langsung gue kasih nama... Dimaz Benci Anarkiez.

Masalah kembali muncul ketika gue tau, ternyata temen gue cuma bikin akun facebook gue aja. Tanpa ada foto profil terpajang di sana. Gue mau minta tolong masukin foto, cuma gue nggak enak, takut ngerepotin. Akhirnya akun facebook itu gue biarkan kosong dan sepi seperti sebuah taman. Taman makam pahlawan.
Setelah punya akun facebook, gue jadi norak. Semua temen gue yang lewat di depan gue langsung gue tanyain nama akun facebooknya apa. Gue catet di kertas. Dan pulang sekolah langsung gue add. Tujuannya simple, cuma buat gaya-gayaan doang. Karena  pada waktu itu, semakin banyak jumlah teman di facebook, semakin bertambah tinggi kedudukan sosial seseorang.

Foto profil facebook gue yang kosong tadi, masih menjadi masalah yang membuat hati gue resah dan gelisah. Hampir semua akun facebook temen gue, ada foto profilnya. Sedangkan akun facebook gue masih tetap tanpa foto profil. Setiap ada temen gue yang nanya.. "facebook lo kok nggak ada foto profilnya sih?" gue cuma bisa jawab dengan bijaksana.. "iya nih, gimana ya, gue orangnya nggak narsis sih. Makanya gue males masang foto profil facebook" padahal dalam hati gue berteriak.. "KAMPREEET! GUE NGGAK TAU GIMANA CARANYA MASANG FOTO PROFIL FACEBOOK!! PASANGIN LAH WOOOY!!".

Akhirnya facebook bernasib sama seperti friendster. Mulai ditinggalkan karena makin kesini, orang makin sadar, facebook udah nggak seasik dulu. Mulai banyak alien dan makhluk astral yang ikutan main facebook. Situasi itu membuat banyak pengguna facebook, hijrah ke situs social media baru yang bernama twitter. 
Awalnya gue nggak tertarik main twitter karena banyak temen gue yang masih pada main facebook. Gue terpaksa main twitter karena cewek gue pada waktu itu, maksa gue buat bikin akun twitter. Ya daripada dia ngambek, akhirnya gue ikutin apa maunya dia.

Pertama buka twitter, gue bingung. Karena waktu itu belum banyak temen gue yang main twitter. Ada sebagian yang udah main twitter, tapi gue nggak tau username-nya apa. Hal pertama yang gue lakukan di twitter adalah ngefollow akun artis-artis yang nggak jelas asal muasalnya dari planet mana. Sampai akhirnya gue ngefollow sebuah akun yang konten tweetnya menarik. Akun itu setiap hari selalu ngetweet hal-hal yang di luar nalar. Bisa dibilang aneh. Tapi gue suka. Karena dia terlihat berbeda dari akun twitter lainnya. Setiap hari gue selalu baca tweetnya. Dan tanpa gue sadari, gue mulai terpengaruh dengan ide-ide absurd-nya. Gue mulai tertantang buat nyoba ngetweet seperti dia.

Dalam hal ini gue buka meniru isi tweetnya, tapi gue meniru sudut pandangnya. Sudut pandang yang gue curi dari dia adalah, gimana cara mengukapkan keresah terhadap suatu hal dengan cara yang menyenangkan. Semacam cara merubah curhat yang menye-menye, menjadi curhat yang elegan Memang awalnya gue kesulitan, tapi lama-lama gue mulai terbiasa. Kebiasaan itu masih melekat sampai sekarang. Bahkan dengan sudut pandang itu, gue jadi bisa berpikir lebih dewasa. Iya, twitter mendewasakan gue. Banyak hal baru yang gue dapat di twitter. Bertemu orang-orang luar biasa dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Sudut pandang mereka juga terus gue ambil. Tentu nggak semuanya, cuma sudut pandang yang sekiranya cocok dengan diri gue sendiri.





Kamis, 06 Juni 2013

Cowok Nggak Sekuat Apa Yang Terlihat

"kita putus aja ya. Maaf, kayaknya kamu terlalu baik buat aku" adalah kalimat paling nggak masuk akal yang pernah gue terima dari seorang cewek. Kejadiannya di sebuah restoran, setelah kita selesai makan, tiba-tiba dia mutusin gue gitu aja. Pergi dan nggak pernah balik lagi.
Ketika denger kalimat itu, ada kayak perasaan yang campur aduk. Antara sedih dan bingung. Sedih karena kebetulan waktu itu gue masih sangat sayang sama dia. Bingung karena kebetulan waktu itu gue lupa bawa dompet.

Ada banyak hal yang cewek nggak tau dari seoarang cowok. Bahwa sebenarnya untuk urusan hati, sekuat-kuatnya cowok, ketika hatinya disakiti, pasti akan menjadi lemah juga. Mungkin fisik cowok lebih kuat dibanding cewek, tapi hati mereka sama lemahnya seperti cewek. 
Kalo ada cowok yang bilang.. "gue nggak pernah sedih karena cewek" itu udah pasti bohong. Nggak ada cowok yang sekuat itu. Kalaupun ngeliat cowok yang baru diputusin tapi dia masih keliatan happy, itu cuma bagian dari pencitraan aja.

Bahkan sejarah pun membuktikan, segarang-garangnya Achilles, dia tewas cuma gara-gara menyelamatkan gebetannya yang bernama Briseis. Sekuat-kuatnya Julius Caesar, dia mati cuma gara-gara cewek bernama Cleopatra yang punya rambut berponi seperti Dora. Dan sehebat-hebatnya Maha Patih Gajah Mada, dia tumbang cuma gara-gara Dyah Pitaloka.
See? Cowok nggak sekuat apa yang kalian kira. Cowok nggak sekuat apa yang terlihat.

Gue sering menyaksikan betapa lemahnya cowok ketika berurusan dengan hatinya. Banyak temen gue yang terlihat perkasa di luar, tapi rapuh di dalam.
Contoh nyata, temen gue, cowok, Sebut saja namanya Seno (bukan nama samaran). Dia adalah temen gue yang paling jagoan. Sering berantem, muka preman, badan tatoan, dan sering nyetir ugal-ugalan di jalanan. Pokoknya bener-bener brandalan banget.

Ceritanya hari itu, gue main ke rumah Seno. Sampai di sana, gue ketemu nyokapnya. Dan nyokapnya nyuruh gue buat langsung masuk aja ke kamar Seno. Sebelumnya gue ngak ada pikiran apa-apa. Tapi ketika gue sampai di depan pintu kamar Seno, gue ngerasa ada yang aneh. Yang gue tau Seno adalah temen gue yang sangat suka musik-musik cadas kayak Death Metal, Hardcore, dll. Tapi hari itu gue sempet shock waktu denger lagu Kahitna berkumandang di kamarnya.

Perasaan gue ketika denger lagu Kahitna berkumandang di kamar Seno, sama anehnya kayak ngeliat Hulk lagi Kerimbat di salon. Sedih gue ngeliatnya.
Sempet gue kira gue salah kamar. Tapi setelah gue liat lagi, gue yakin itu kamar Seno. Gue pun tanpa ragu langsung masuk ke dalem.
Di kamar itu gue ngeliat Seno lagi tengkurep manja ala-ala cewek di FTV yang lagi patah hati. Perih mata gue ngeliatnya.

Gue masih belum ngerti kenapa hari itu Seno berperilaku imut nggak seperti biasanya. Akhir gue nanya ke dia.. "Sen, lo gapapa kan?". Seno melihat ke arah gue dan balik bertanya ke gue "menurut lo cinta sejati di dunia ini ada nggak sih?"  Gue speechless. Suasana di kamar itu mendadak jadi terasa sangat mencekam. Sempat beberapa detik gue mikir kalo Seno lagi kesurupan kuntilanak penunggu pohon jengkol.

Setelah ngobrol-ngobrolin cinta sejati, akhirnya Seno mulai cerita ke gue. Ternyata dia baru aja diputusin ceweknya. Karena menurut ceweknya, Seno terlalu posesif. Gue ngerti gimana perasaan Seno waktu itu. Karena gue juga sering diputusin dengan alasan nggak kreatif seperti itu. Kenapa gue bilang nggak kreatif? Karena cewek itu kadang aneh. Maunya selalu diperhatiin, giliran diperhatiin terus, cowoknya yang dituduh posesif. Ya akhirnya balik lagi ke peraturan dasar dalam berpacaran; cewek selalu benar, dan cowok selalu salah.

Sambil diiringi lagu mendayu-dayu dari Kahitna, gue berusaha dengerin curhatan Seno. Awalnya dia santai. Cuma curhat-curhat biasa. Lama-lama matanya mulai berkaca-kaca. Suaranya mulai terdengar nggak stabil. Dan mukanya keliatan makin absurd. Nggak lama, air matanya mulai menetes. Dia nggak sanggup ngelanjutin omongannya. Iya, Seno nangis. Gue yang waktu itu panik ketika ngeliat dia nangis, langsung nyari tissue supaya dia bisa cepet-cepet menghapus air matanya. Bukan apa-apa, jijik gue ngeliatnya.
Tapi ternyata di kamar Seno nggak ada tissue, yang ada cuma kanebo.

Sambil mengahpus air matanya pake kanebo, Seno melanjutkan curhatnya. Dan yang bisa gue lakukan cuma pasrah. Gue bener-bener nggak tau harus berbuat apa.
Selama berjam-jam curhat, gue cuma bisa bilang "iya" dan "sabar aja". Tujuannya simple, biar curhatnya cepet selesai. Karena gue adalah tipe orang yang males curhat-curhatan. Kecuali curhat-curhatan sama cewek cantik

Akhirnya Seno diem. Mungkin dia udah capek curhat terus daritadi. Gue pun secepat mungkin melarikan diri dari kamar Seno. Sebelum dia melanjutkan curhatnya. Dan sebelum kuping gue berdarah-darah karna kelamaan denger curhatan Seno.
Setelah pulang dari rumah Seno, gue ketawa-ketawa sendiri. Semua bener-bener diluar dugaan. Bahkan cowok segarang Seno pun, hatinya bisa hancur berkeping-keping setelah diputusin.
Itulah, kadang hati nggak pernah bisa dibohongi. Mau sekuat apapun seorang cowok, akan ada saat di mana dia tau bahwa hatinya tidak sekuat apa yang dia kira.


Sabtu, 01 Juni 2013

Cerita Cinta Molly

Dalam sebuah hubungan, entah itu cepat atau lambat, suatu saat hubungan itu pasti akan terjebak di suatu kondisi di mana kedua belah pihak sama-sama merasa bosan. Dan yang paling cepat bosan itu biasanya cowok. Tapi bukan berarti cewek nggak akan merasa bosan juga. Sama aja. Cuma tingkat kebosenan cowok lebih tinggi ketimbang cewek. Apalagi ketika pacaran hal-hal yang dilakukan cuma itu itu aja. Dalam jangka waktu minimal 5 bulan, hubungan itu pasti akan menjadi sangat-sangat membosankan. Kalo udah begitu, salah satu pihak entah itu cewek atau cowoknya, bakal males ketemu, males ngabarin, males nelpon, males ngapa-ngapain dan cenderung  menghindar.

Gue sangat mengerti gimana rasanya terjebak di situasi seperti itu. Karena gue juga sering mengalaminya. Ngerasa bosen sama pacar sendiri, dan ngerasa jenuh dengan hubungan yang sedang dijalani. 
Setiap hari yang ada di pikiran gue cuma gimana caranya mutusin dia tanpa harus membuat dia sakit hati. Tapi gue juga pernah ada di pihak sebaliknya. Di saat gue lagi sayang-sayangnya sama dia, dia malah menghindar dari gue. Semua bentuk perhatian gue, jadi terlihat biasa aja di mata dia. Dan itu sakit. Lebih sakit dari disunat dua kali pake bambu runcing.

Di postingan kali ini, gue bakal bercerita tentang gimana rasanya ada di pihak yang merasa bosan, dan gimana rasanya ada di pihak sebaliknya.

Alkisah, dulu gue pernah berpacaran dengan seorang cewek yang bernama Molly. Dia sangat bisa ngertiin apa maunya gue. Dia juga bisa ngertiin semua keanehan gue. Buat gue, itu yang paling penting. Karena cinta itu bukan ketika kita bisa menerima kelebihan masing-masing. Cinta itu ketika kita bisa saling menerima kekurangan dan keanehan masing-masing.
Gue merasa cocok sama dia karena dia bisa menerima keanehan gue, dan gue pun bisa menerima keanehan dia. Banyak hal-hal aneh yang pernah kita lakukan. Mulai dari adu panco, main karambol, mencet-mencetin bel rumah orang, peper peperan ingus, segala macem. Bahkan gue pernah pas makan di restoran, iseng narik-narik tali beha dia sampe putus. Dia panik, gue pun lebih panik. Niat gue cuma mau ngisengin dia yang lagi serius makan karena kelaperan. Tapi mungkin gue nariknya kekencengan atau emang tali behanya aja yang terlalu tipis. Dengan makanan yang masih ada di mulutnya, Molly teriak "TUHKAN PUTUUUS!". Gue semakin panik. Saking paniknya, gue sempet keceplosan bilang.. "maaf maaf sayang, yaudah gantian deh kamu yang mutusin tali beha aku." Gue kira dia bakal marah banget sama gue, ternyata dia malah ngelanjutin ngunyah makanan yang belum sempat dia telan. Laper banget kayaknya.

Setelah hampir 8 bulan kita jadian, gue mulai ngerasa bosan. Nggak tau kenapa. Gue emang tipe orang yang cepat merasa bosan. Setiap Molly nelpon gue, selalu ada perasaan males buat ngangkat telpon dari dia. Setiap diajak ketemuan, gue selalu punya alasan buat nolak ajakannya. 
Kebetulan, Molly juga sejenis manusia yang sangat perasa. Dia mulai ngebaca rasa bosan yang gue rasakan.
Gue sendiri nggak tega ngeliat dia yang selalu sabar nunggu kabar dari gue. Gue kayak jahat banget sama dia. Tapi gue nggak bisa apa-apa. Di kepala gue udah nggak ada lagi perasaan nyaman yang gue rasa seperti sebelum-sebelumnya. Gue dilema. Di satu sisi, gue udah nggak bisa ngerasa nyaman lagi sama dia. Di sisi lain, gue belum bisa ngelepas dia begitu aja. Hubungan gue sama Molly pun jadi nggak jelas. Semakin hari bukan semakin membaik, malah semakin rumit. 
Akhirnya gue memberanikan diri buat mutusin dia. Berat memang, tapi itu harus gue lakukan. Karena gue juga nggak mau terus-terusan jahat sama dia. Gue harus jujur sama diri gue sendiri. Dan gue juga harus ngelepas dia supaya dia nggak berharap lagi, sama gue, orang yang sudah tidak mengharapkan dia.

Molly bisa terima keputusan gue. Walaupun gue tau, itu pasti sakit banget buat dia.

Setelah putus dari Molly, gue merasa sangat bebas. Nggak ada lagi beban pikiran di kepala gue. Lega banget. Setiap hari perasaan gue jadi lebih tenang. Nggak ada telpon masuk dari Molly, nggak ada perhatian yang berlebihan, nggak ada perasaan cemas, dan nggak ada Molly lagi di hidup gue. 
Perasaan seneng itu cuma gue rasain sebentar. Dua bulan setelah hidup gue tanpa ada kabar dari Molly, gue ngerasain perasaan yang aneh. Kayak ada yang sesuatu yang hilang di hidup gue. 
Seketika gue langsung kepikiran Molly. Kepala gue dipenuhi pertanyaan-pertanyaan semacam gimana kabar dia, sibuk apa dia sekarang, apa dia masih secantik dan selucu dulu, apa dia masih sering memikirkan gue atau udah enggak sama sekali. Iya, kepala gue, kembali didominasi oleh Molly. Tapi niat gue buat ngehubungin dia lagi, terbentur dengan ketakutan gue tidak diterima secara baik sama Molly. Gue udah jahat banget sama dia. Dan dia pasti benci banget sama gue.

Semakin hari gue semakin nggak bisa berhenti memikirkan dia. Gue harus ketemu sama dia. Minimal gue tau keadaan dia sekarang gimana. Kebetulan gue masih hapal nomer telponnya yang dulu yang sempat gue hapus. Dengan perasaan penuh kekhawatiran, gue pun nelpon Molly lagi.
".....hallo?"

"iya, hallo. ini siapa, ya?" (gue lemes. ternyata Molly udah menghapus nomer gue dari handphone-nya)

"ini aku, Dimas"

"Dimas? Dimas yang mana, ya?" (gue semakin lemes. ternyata Molly udah lupa sama gue)

"Molly, apa secepat itu kamu ngelupain aku?"

"hah? Molly? Molly siapa? Lo ngomong apa sik?!" (kampret. gue salah sambung)

Dengan segera, gue menutup telpon itu.

Setelah gue liat, ternyata gue emang salah pencet nomer. Mungkin karena saking geroginya. 
Akhirnya, gue pun menelpon nomer Molly yang asli. Bukan Molly jadi-jadian kayak tadi.
Setelah gue telpon, ternyata Molly masih inget sama gue. Dan ternyata dia seneng bisa ngobrol lagi sama gue. Asli, gue nggak nyangka. Dugaan gue kalo Molly bakal benci banget sama gue ternyata salah. Dia emang sengaja nggak ngehubungin gue karena gengsi kalo dia yang harus ngehubungin duluan. Biasalah cewek.

Gue kembali deket sama Molly. Kita mulai ngerasain perasaan lama, yang dulu pernah kita rasain sama-sama. Kita juga mulai sering ngelakuin hal-hal aneh kayak dulu lagi. Gue jatuh cinta lagi sama dia. Tapi kali ini, gue ngerasain perasaan yang dua kali lipat lebih hebat dari apa yang gue rasain dulu waktu pertama kali jatuh cinta sama dia. 
Tanpa ragu, gue ngajak dia buat balikan. Memulai semuanya dari awal lagi. Gue sangat beruntung. Ternyata Molly juga ngerasain hal yang sama seperti gue. Dia mengiyakan permintaan gue buat balikan lagi sama dia.

Semakin hari gue semakin sayang sama Molly. Sehari nggak ketemu dia, rasanya kayak ada yang aneh dalam hidup gue. Agak berlebihan memang, tapi itulah cinta. Bisa membuat hal-hal yang sebenarnya menjijikan untuk dilakukan, menjadi hal-hal yang sangat wajar untuk dilakukan. Hampir setiap hari waktu gue habis cuma buat mikirin dia. Dia jadi terlihat sempurna di mata gue. Nggak ada lagi yang lebih istimewa dari dia. 

2 tahun setalah kita balikan. Perasaan gue ke dia tetap nggak berkurang. Bisa dibilang malah semakin menggebu-gebu. Malah gue sempat berharap, mudah-mudahan dia perempuan terakhir yang nantinya jadi tempat terakhir untuk mengakhiri perjalanan cinta gue (dangdut banget ya? bodoamat.)
Tapi kadang harapan selalu berbanding terbalik dengan kenyataan. Gue mulai ngerasa ada hal aneh yang Molly sembunyikan dari gue. Dia jadi jarang nanya-nanya ke gue. Biasanya, dia paling seneng ngasih pertanyaan ke gue. Iya, dia seneng ngeliat ekspresi muka gue ketika gue lagi bingung karna nggak bisa jawab pertanyaan dari dia. 
Perhatian-perhatian dari Molly mulai jarang gue dapatkan. Semakin hari dia semakin cuek. Gue mencoba terus-terusan berpikir positif. Mungkin dia emang lagi sibuk aja. 

Tapi Molly semakin aneh. Setiap gue tanya dia lagi di mana. Jawabannya selalu singkat. Biasanya, kalo gue tanya ke dia yang cuma satu pertanyaan aja, dia bisa jawab sampe ribuan kalimat. Dia yang biasanya bawel banget, jadi biasa banget ketika ngomong sama gue. Nggak salah lagi, dia pasti ngerasain hal yang sama seperti apa yang gue rasain ke dia dulu ketika gue mulai ngerasa bosen sama dia.
Setiap hari yang ada di pikiran gue cuma Molly. Tapi entah dia ngerasain hal yang sama atau enggak sama sekali. Rasanya nggak enak banget. Sebelum semuanya semakin nggak jelas, gue pun ngomong baik baik ke Molly. Dia akhirnya jujur sama gue. Dia udah ngerasa sangat-sangat jenuh dengan hubungan yang sekarang. Dia udah nggak ngerasa nyaman lagi sama gue. Dan dia memutuskan untuk mutusin gue. 

Hari itu, pertama kalinya gue ngerasa patah hati yang bener-bener patah. Pas dia bilang putus, rasanya kayak pengen ngais-ngais tanah. Sangat. Sangat. Sakit.
Setelah bilang putus, dia pegang tangan gue yang agak kaku karena masih shock. Sambil menatap mata gue, dia bilang.. "makasih ya buat semuanya. kita sampai di sini aja" Dia pun melepas genggaman tangan gue. Berdiri dari tempat duduknya, dan pergi begitu aja.

Setelah sampai di rumah, gue cuma bisa melamun. Lemes banget rasanya. Kayak masih nggak percaya dia bakal pergi lagi dari hidup gue. Tapi gue juga nggak bisa apa-apa. Itu udah jadi keputusan dia. Mungkin ini juga balasan buat gue, yang dulu pernah ngelakuin hal yang sama ke dia.
Apa yang gue rasain setiap hari bener-bener nggak enak. Gue ngerasa kayak kehilangan semangat hidup. Mungkin ini yang dirasain Molly ketika dulu gue memutuskan untuk pergi dari dia.
Beberapa bulan setalah dia pergi, gue masih belum bisa ngelupain dia. Kepala gue masih terisi penuh dengan cerita-cerita lama gue sama Molly.  Tapi gue nggak bisa begini terus, gue harus move on. Gue harus bisa melanjutkan hidup. Mencari cerita baru, untuk menghapus cerita yang lama.
Di tengah perjuangan gue malanjutkan hidup tanpa Molly, gue dapet kabar dari temen gue kalo ternyata Molly udah punya pacar baru. Kabar itu kayak petir yang seketika menyambar tepat di kepala gue. Sakitnya dua kali lipat dari sakit ketika diputusin dia. Saat itu, gue ngedrop parah. Kondisi badan gue jadi nggak stabil. Bahkan gue sempet kena demam. Baru itu gue diputusin cewek sampe segitunya. 
Tapi gue mencoba untuk bisa terima keadaan. Perlahan gue mulai bisa melepaskan dia. Menghapus namanya yang udah gue ukir di dalem kepala.

Sejak saat itu gue percaya satu hal. Yang meninggalkan, suatu saat akan ngerasain gimana rasanya ditinggalkan. Bahkan rasanya bisa dua kali lipat jauh lebih sakit.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...